Replace May 2014

Saturday, May 17, 2014

Mainstream dan Underground Sama-Sama Bobrok


Ada banyak hal yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Salah satunya adalah musik. Tanpa musik, hidup ini terasa mati. Manusia bisa menjadi gila tanpa wadah untuk berkreasi dan berekspresi. Bahkan, musik seakan menjadi kebutuhan primer bagi sebagian banyak orang. Maka dari itu, industri musik merupakan salah satu bisnis yang paling menguntungkan di dunia. Terdapat jutaan label rekaman yang berdiri di muka bumi ini mulai dari yang kecil-kecilan, hingga yang raksasa. Begitu pula di Indonesia, dengan pesatnya kemajuan teknologi informatika, terdapat banyak sekali label rekaman dengan kelas-kelas tertentu pula.

Secara movement dan eksistensi, musik terbagi menjadi dua jalur, yaitu jalur mainstream dan jalur underground. Musisi yang eksis di jalur mainstream umumnya mengusung musik pasaran yang dapat kita saksikan hampir setiap hari di televisi dan popularitasnya pun merakyat. Sedangkan musisi underground umumnya mengusung genre yang tidak biasa dan tidak pasaran seperti metal, rock, punk, jazz, blues, dsb. Tidak seperti musisi mainstream, musisi underground memiliki popularitas yang segmented karena penikmatnya berasal dari kalangan tersendiri yang didominasi oleh remaja. Musisi juga tak bisa lepas dari label. Label adalah perusahaan yang bertugas untuk memproduksi, mendistribusi, dan mempromosi karya dari musisi dengan imbalan pembagian keuntungan dari hasil penjualan karya maupun pendapatan manggung. Label terbagi menjadi dua jenis, yaitu label major dan label indie. Perbedaan spesifik dari major dan indie terdapat pada modal produksi dan jangkauan distribusi/promosi. Label major memiliki jangkauan distribusi dan promosi yang luas serta modal yang besar sehingga dapat mempromosikan musisi ke media raksasa seperti televisi. Namun hanya musisi tertentu yang dapat memasuki lingkaran label major, yaitu musisi yang memiliki nilai jual tinggi yang berpotensi dapat mengembalikan modal besar yang telah dikeluarkan oleh label yang memiliki wewenang untuk menentukan konsep musik dari musisi yang dijualnya, sehingga sangat sulit bagi musisi untuk mendapatkan kebebasan dalam berkreasi. Lain halnya dengan label indie. Indie berasal dari kata independent yang berarti ‘berdiri sendiri’. Dalam hal ini, ‘berdiri sendiri’ berarti menciptakan, memproduksi, mendistribusi, dan mempromosikan karya tersebut secara mandiri tanpa campur tangan produser karena kebebasan sangat diutamakan dalam dunia musik indie, dimana pihak label tidak punya wewenang untuk menentukan dan merubah konsep apapun dari musisi. Namun umumnya label indie memiliki modal seadanya yang membuat produksi, distribusi, dan promosi pun dilakukan dengan seadanya pula, sehingga jumlah konsumennya pun tidak semasif jumlah konsumen musik major dan hanya berasal dari kalangan tertentu.

Kini industri musik tanah air seakan dimonopoli oleh segelintir label major yang menguasai jalur mainstream dan hanya mengizinkan musisi-musisi tertentu untuk bisa berada di bawah naungan mereka. Dengan modal yang besar serta promosi yang gencar, dengan mudah mereka dapat mengorbitkan musisi yang dijualnya. Namun, bagi mereka hanya lah musisi pop yang memiliki potensi ‘laku’ yang dapat berkesempatan untuk bekerja sama dengan mereka. Bahkan, beberapa musisi yang awalnya beraliran rock/jazz terpaksa harus berubah haluan demi memperoleh eksistensi yang dijamin oleh sang label. Salah satu contohnya adalah Killing Me Inside yang merupakan band screamo post-hardcore yang rela menjual idealismenya dalam bermusik demi mendapatkan gandengan dari Royal Prima Musikindo sebagai distributor yang memiliki jangkauan distribusi dan promosi yang luas. Hasil dari ‘perkawinan’ tersebut adalah lagu “Biarlah” yang melenceng jauh dari konsep musik awal Killing Me Inside. Jika dibandingkan dengan dulu, popularitas Killing Me Inside kini jauh lebih merakyat. Sebelumnya, Killing Me Inside merupakan sebuah band indie yang bergerak di jalur underground yang hanya populer di kalangan tertentu. Tak dapat dipungkiri bahwa yang mendongkrak popularitas Killing Me Inside adalah lagu “Biarlah” yang sering muncul di televisi berkat Royal Prima Musikindo yang juga membantu mereka untuk dapat eksis di jalur mainstream. Yang lebih menyedihkan adalah sikap label yang tidak memperdulikan kualitas musisi yang akan diorbitkan. Bagi mereka, yang penting hanyalah nilai jual. Tak perduli seberapa bobroknya kualitas musisi itu, asalkan mereka memiliki lagu yang berpotensi untuk disukai masyarakat, maka musisi tersebut dapat deal kontrak dengan label. Dan sayangnya, masyarakat Indonesia masih didominasi oleh para penikmat musik pop. Maka definisi musik ‘laku’ bagi label adalah musik pop. Maka wajar saja musisi seperti Killing Me Inside rela memainkan lagu pop ‘menyek-menyek’ dan wajar pula para label major tak punya nyali untuk mengorbitkan musisi non-pop (walaupun sebenarnya berpotensi menjual) dan cenderung ‘cari aman’ dengan hanya mengorbitkan musisi pop. Mereka takut modal besar yang mereka keluarkan untuk memproduksi, mendistribusi, dan mempromosikan sang musisi tidak kembali karena musik yang dijual tidak laku di pasaran.

Hal ini menciptakan musik yang homogen di jalur mainstream. Masyarakat tertentu berhasil dibuat muak dengan kebanyakan stasiun televisi dan radio yang hanya berani menampilkan musisi-musisi seperti yang saya sebutkan di atas yang cenderung sejenis. Bagi pihak televisi, musisi non-pop berpotensi menurunkan rating program mereka karena penonton televisi di Indonesia yang didominasi oleh masyarakat berselera musik pop. Maka terjadi lah keseragaman jenis musik di jalur mainstream. Yang membedakan hanya lah formatnya. Ada penyanyi solo, duo, trio, band, boy band, girl band, idol group, namun kontennya tetap pop. Ironisnya, bukan hanya musik, namun juga lirik. Jika kita teliti memperhatikan lirik dari lagu-lagu yang sering muncul di televisi itu, dapat disimpulkan bahwa hanya ada dua jenis tema yang mereka usung dalam penulisan lirik, yaitu tema percintaan dan tema motivasi (yang sedang booming akhir-akhir ini seperti lagu “Jangan Menyerah” dari D’ Masiv, “Tendangan Dari Langit” dari Kotak, dsb). Lirik-lirik seperti itu juga terkesan memiliki nilai estetika yang buruk dan tidak puitis. Kita ambil contoh, Wali. Band beraliran pop melayu itu terkesan asal dalam penulisan lirik dan pemilihan kata-katanya. Lagu “Cari Jodoh” yang sempat booming pada 2008, yang liriknya secara keseluruhan sangat sederhana dan ‘ngasal’ : “Ibu-ibu, Bapak-bapak, siapa yang punya anak bilang aku, aku yang tengah malu pada teman-temanku karena cuma diriku yang tak laku-laku.” Dan masih banyak band-band pop seperti Wali dengan lirik yang banal. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa musik mainstream di Indonesia sedang mengalami krisis kualitas dan variasi.

Pertanyaannya adalah “Mengapa band-band pop dengan kualitas musik yang seadanya, serta tema lirik yang homogen dan banal dapat disukai oleh banyak orang?” Hal ini merujuk kepada media yang memiliki pengaruh paling kuat yang digunakan oleh label, yaitu televisi. Bisa dibilang 80% yang menentukan keberhasilan label dalam promosi adalah televisi. Label dan televisi sama-sama sangat memperhatikan selera masyarakat untuk menentukan mana yang harus ditayangkan dan diorbitkan, dan mana yang harus dihindari demi mempertahankan rating dan keuntungan. Sebagaimana yang kita ketahui, kebanyakan penonton televisi di Indonesia adalah anak-anak, remaja, dan ibu rumah tangga yang kebanyakan memiliki selera musik easy-listening alias pop. Dan umumnya mereka memiliki intelektualitas yang (masih) rendah, sehingga musik-musik cerdas akan sulit diterima oleh mereka. Kalangan pendominasi jumlah penonton televisi di Indonesia itu pun akan sulit menerima lagu-lagu dengan lirik bertema politik, kritik sosial, kritik pemerintah, dan tema-tema selain percintaan dan motivasi lainnya. Karena lirik bertema politik, kritik sosial, kritik pemerintah, identik dengan istilah-istilah yang mungkin terdengar asing bagi mereka. Beda halnya dengan lirik percintaan dan motivasi yang kebanyakan menggunakan diksi, kata, dan istilah yang sederhana sehingga mudah diterima.

Sebenarnya sah-sah saja mereka menikmati lagu dengan lirik yang sederhana karena salah satu misi para musisi adalah menyampaikan pesan mereka lewat lirik. Agar pesan tersebut dapat mudah diterima oleh masyarakat, maka mereka membuat lirik yang sederhana. Namun yang memperburuk adalah penulisan lirik dengan angle yang sejenis. Seperti yang dikatakan oleh Cholil Mahmud yang merupakan pentolan dari band indie asal Jakarta, Efek Rumah Kaca. “Boleh aja bikin lirik tentang cinta, tapi kalo bisa angle-nya harus beda”. Efek Rumah Kaca adalah band indie beraliran pop dengan kualitas pop yang dapat disejajarkan dengan Nidji, Peterpan, dan Sheila On 7, namun lirik lagunya banyak terinspirasi dari lirik lagu-lagu Iwan Fals yang kerap mengangkat tema kritik sosial, politik, dan pemerintahan. Mereka juga kerap menulis lirik tentang lingkungan seperti pada lagu “Efek Rumah Kaca”, “Desember”, dan “Hujan Jangan Marah”. Efek Rumah Kaca anti menulis lirik tentang cinta. Sesekalinya mereka menulis lirik tentang cinta adalah lagu “Bukan Lawan Jenis” namun disajikan dengan angle yang berbeda, yaitu tentang percintaan homoseksual. Selain itu, Efek Rumah Kaca juga terkenal dengan idealismenya yang sangat kuat. Bagaimana tidak? Mereka pernah menolak tawaran Sony BMG, salah satu label major terbesar di Indonesia, yang berminat merilis album mereka. “Selama kualitas sinetron di Indonesia masih seperti sekarang, kami gak akan pernah mau menerima tawaran label major karena mereka memiliki wewenang untuk menjadikan lagu-lagu kami sebagai soundtrack sinetron. Selain itu mereka juga berhak merubah musik dan lirik kami sesuai dengan keinginan mereka.” Ujar Cholil, vokalis sekaligus gitaris dari Efek Rumah Kaca.

Sangat disayangkan pula bahwa musik underground di Indonesia kini mulai terserang ‘penyakit’. Meski memiliki musik dan lirik yang variatif, namun scene musik underground di Indonesia akhir-akhir ini terkesan latah. Ketika tren musik metal sedang populer, serentak semua orang membentuk band metal. Begitu pula dengan musik pop punk, hardcore, dsb yang juga memiliki masa popularitasnya masing-masing. Para musisi underground (terutama yang baru) cenderung membuntut kepada tren yang sedang populer (di jalur underground). Berbeda dengan jalur mainstream yang konsisten dengan musik popnya. Hal lain yang membuat kondisi musik underground di Indonesia semakin mengkhawatirkan adalah sistem registrasi band yang diberlakukan oleh hampir seluruh event organizer di Indonesia yang bergerak di jalur underground. Saat ini, membentuk sebuah band underground benar-benar semudah membalikkan telapak tangan. Yang diperlukan hanya lah personil dan uang. Skill menjadi nomor kesekian bagi band-band tersebut. Pasalnya, mereka dapat manggung dimana saja dan kapan saja dengan membayar biaya registrasi. Inilah yang disebut dengan sistem registrasi. Siapa pun itu, tak perduli dapat bermain musik atau tidak, asal punya uang, dapat tampil di acara-acara yang memberlakukan sistem registrasi. Selain itu, kini band juga dapat menentukan posisi logo mereka di flyer acara. Semakin atas, semakin besar uang yang harus dikeluarkan. Band underground berkualitas maksimal, dengan modal minim dapat sukses, namun dengan perjuangan dan ketekunan terlebih dahulu, seperti Burgerkill, Siksa Kubur, dan band-band underground senior lainnya yang eksis dan berhasil bertahan hampir 20 tahun lamanya.  Sedangkan band underground berkualitas minim, dengan modal maksimal, dapat sukses dengan instan. Yang bicara adalah uang. Uang diutamakan, kualitas dikesampingkan. Lama-kelamaan menjadi mirip seperti jalur mainstream. Sama-sama mengutamakan uang, sama-sama mengesampingkan kualitas. Yang membedakan hanya soal kebebasan berkreasi. Di jalur underground sangat mengizinkan hal tersebut, tidak seperti di jalur mainstream yang terkesan mewajibkan pengusungan genre pop.

Yang lebih menyedihkan adalah sikap event organizer terhadap band-band baru yang tidak hanya diharuskan membayar biaya registrasi, namun juga diwajibkan jualan tiket. Ini disebut dengan sistem share tiket. Biasanya dalam sebuah acara underground, selain diwajibkan membayar biaya registrasi, band diwajibkan menjual 10-30 tiket. Bahkan, band saya pernah diwajibkan menjual 50 tiket. Pada 2013 lalu, sebuah acara hardcore besar-besaran diadakan di Bekasi. Ketika itu saya mencoba untuk melobi pihak event organizer agar band saya dapat menjadi salah satu pengisi acara, tanpa mengharapkan bayaran sepeser pun. Pihak event organizer sama sekali tidak meminta kami untuk mengirimkan lagu demo ataupun tampil dihadapan mereka untuk menguji kelayakan dan kualitas kami, melainkan menyuruh kami menjual 50 tiket dengan harga Rp. 25.000 per tiketnya dan kami diwajibkan untuk membayar (nombok) jika ada tiket yang tersisa. Itu artinya jika kami sama sekali tidak berhasil menjual tiket, kami harus membayar uang sebesar Rp. 1.000.000 kepada pihak event organizer. Uang sebesar itu sangat besar bagi pelajar seperti kami. Namun Alhamdulilah, dengan usaha keras, semua tiket laku terjual dan kami berhasil tampil di acara bergengsi tersebut. Pengalaman pahit lainnya juga pernah saya rasakan ketika hendak tampil di sebuah acara lain yang sama-sama memberlakukan sistem registrasi + share tiket. Ketika itu kami tidak berhasil menjual semua tiket, sehingga terdapat beberapa tiket yang tersisa. Kami pun dibentak-bentak oleh panitia dengan cara yang tidak senonoh. Kami diwajibkan untuk membeli tiket-tiket yang tersisa dengan ancaman nama kami akan dihapus dari rundown dan biaya registrasi yang telah kami bayar akan dihanguskan. Akhirnya, setelah meminjam uang sana-sini, kami dapat membeli tiket-tiket tersebut dan izinkan untuk tampil.

Hal-hal diatas jelas menjadi pertanda bahwa industri musik tanah air sedang berada di zona sekarat. Belum lagi masalah undang-undang hak cipta dan pembajakan yang hanya merupakan teori belaka. Siapa saja yang melanggar undang-undang tersebut tidak pernah ditindak tegas sesuai dengan sanksi yang berlaku, sehingga di Indonesia, pembajakan terkesan merupakan sesuatu yang legal dan halal. Kini seluruh musisi di Indonesia lebih mengutamakan penghasilan yang didapatkan dari manggung ketimbang dari penjualan album. Sekarang semua orang di Indonesia dengan mudah dapat mengunduh album yang diinginkan secara gratis dan ilegal, dan dapat memperbanyak serta menjual kembali album tersebut secara ilegal pula tanpa terjerat sanksi dari undang-undang yang berlaku. Maka di Indonesia saat ini, musisi bukan lah profesi yang menjanjikan. Hanya orang-orang dengan kemampuan berbisnis, kecerdasan musikal, dan beruntung seperti Ahmad Dhani yang mampu sukses secara finansial sebagai musisi.

Jalur mainstream dan underground di Indonesia sudah sama-sama bobrok kualitas dan sistemnya. Musik mainstream yang homogen hanya dapat diperbaiki dengan cara merubah selera musik masyarakat menjadi lebih variatif. Satu-satunya yang dapat melakukan itu adalah media, terutama televisi. Memang diperlukan nyali yang besar bagi media mainstream untuk menghadirkan musisi non-pop. Namun sepertinya mereka masih dihantui oleh rating. Melihat program seperti Radio Show di TV One yang berani menghadirkan musisi-musisi ‘terpojok’ dan sangat disayangkan usia program tersebut tidak mencapai dua tahun. Logika sederhananya, sebuah program televisi yang usianya pendek, berarti yang menonton pun sedikit dan jumlah penonton sangat berpengaruh terhadap rating. Modal untuk memproduksi sebuah program di televisi didapatkan dari pengiklan yang tentunya hanya mau beriklan pada program-program ber-rating tinggi. Jumlah penonton sedikit rating rendah tidak ada iklan tidak ada modal produksi program dihapus. Dengan sedikitnya jumlah penonton Radio Show, secara tidak langsung menggambarkan selera musik masyarakat di Indonesia. Program musik lainnya yang konsisten menghadirkan musisi pop, seperti Dahsyat dan Inbox terbukti bertahan selama bertahun-tahun hingga sekarang dan saya percaya rating-nya pun tinggi. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat di Indonesia masih didominasi oleh penikmat musik pop. Kunci untuk menjadikan musik mainstream di Indonesia agar lebih variatif adalah masyarakat itu sendiri. Mainstream bicara soal mayoritas. Jika mayoritas selera musik masyarakatnya beragam, maka musisi, label, dan media pun akan mengikutinya. Namun tak dapat dipungkiri lagi bahwa bukan merupakan hal yang mudah untuk merubah selera musik masyarakat.

Untuk permasalahan di jalur underground, sebenarnya lebih sederhana dibandingkan permasalahan di jalur mainstream. Kelatahan para musisi underground yang selalu bergantung pada tren, bukan lah sebuah masalah yang serius karena musik underground yang beragam, menciptakan pasarnya masing-masing. Suatu jenis musik yang sedang populer di jalur underground tidak menjadi masalah bagi jenis musik underground lainnya yang sedang tidak populer, karena adanya pasar yang mereka ciptakan masing-masing. Yang menjadi ‘penyakit’ adalah sistem yang diberlakukan. Seperti yang saya sebutkan di atas, sistem registrasi dan share tiket melenyapkan jaminan kualitas di jalur underground. Dan yang membuat para event organizer memberlakukan sistem tersebut adalah modal yang terbatas, yang disebabkan oleh jumlah konsumen musik underground yang tidak sebanyak konsumen musik mainstream. Maka modal yang dikeluarkan pun tidak sebanyak modal yang dikeluarkan di jalur mainstream. Memang sangat sulit untuk menemukan solusinya. Kebebasan yang dinomorsatukan di jalur underground menjadi pemicu terjadinya ‘penyimpangan’ ini karena menimbulkan persaingan yang ketat dan membuat uang ‘bicara’ pada akhirnya.

Kita sebagai penikmat musik tanah air hanya bisa geleng-geleng kepala atas fenomena-fenomena memprihatinkan tersebut. Keresahan kita sebagai penikmat musik yang kritis, diharapkan dapat menjadi pemicu terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik (di bidang musik, tentunya).

Revolusi tidak selalu bicara soal pergerakan yang besar dan cepat. Revolusi bisa dimulai dari hal-hal kecil, yang lama-kelamaan, dengan kegigihan, ketekunan, dan konsistensi, akan berkobar menjadi sebuah perubahan yang besar. Seperti yang dikatakan oleh John Lennon, “I start a revolution from my bed.”





Sunday, May 11, 2014

Review Album : Whitechapel - Our Endless War (2014)


Tracklist : 
1. Rise
2. Our Endless War
3. The Saw Is The Law
4. Mono
5. Let Me Burn
6. Worship The Digital Age
7. How Times Have Changed
8. Psycopathy
9. Blacked Out
10. Diggs Road
11. A Process So Familiar (Bonus Track)
12. Fall of The Hypocrites 

"Our Endless War" yang merupakan album kelima dari pionir deathcore asal Amerika Serikat, Whitechapel, sedang menjadi perbincangan hangat bagi para metalheads dunia. Pasalnya, album yang dirilis pada 29 April lalu ini berhasil menempati posisi 10 di chart Billboard 200 dan berhasil mengalahkan album Shakira yang berada di nomor 12. Di minggu pertama penjualannya, album rilisan Metal Blade Records itu berhasil menjual lebih dari 16.000 kopi. Memang merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa bagi band underground sekelas Whitechapel.

Berbeda dari album-album sebelumnya, pada "Our Endless War", Whitechapel berhasil slow down dari segi tempo seperti pada lagu "The Saw Is The Law", namun masih terdapat beberapa lagu 'ngebut' yang berhasil mereka hadirkan dengan komposisi yang lebih fresh seperti pada lagu "Blacked Out", "Fall of The Hypocrites", dll. Jika pada album-album sebelumnya Whitechapel kental dengan unsur technical-nya, "Our Endless War" hadir dengan elemen hardcore yang lebih dominan dan breakdown yang lebih variatif dan groovy seperti pada lagu yang berjudul "Our Endless War" pula. Phil Bozeman cs mampu mengembangkan musik mereka dengan menyuntikan sesuatu yang baru, namun mereka juga berhasil mempertahankan identitas asli mereka. Breakdown dan vokal Phil Bozeman yang rendah dan menyeramkan bagaikan monster itu masih menjadi ciri khas band asal Tennesse tersebut. Selain itu, riff gitar pada album ini juga lebih unik dan sadis seperti pada "Psycopathy". Salah satu yang menarik dari album ini adalah Ben Harclerode sang drummer yang mampu menghadirkan banyak teknik gospel chops yang membuat album semakin menarik dan segar untuk dinikmati. Jika pada album "Whitechapel" (self-titled) yang dirilis pada 2012 lalu mereka banyak mengusung unsur progressive, yaitu odd time signature, "Our Endless War" jauh lebih sederhana dan lebih groovy. Dari segi lirik, album ini banyak banyak bercerita tentang kritik pemerintahan dan kritik sosial.

Album ini sangat cocok untuk kalian yang menyukai genre metal-hardcore seperti Hatebreed dan Earth Crisis, cocok untuk para pecinta deathcore karena banyak terdapat breakdown-breakdown groovy yang headbang-able, dan juga cocok untuk para pendengar musik death metal karena Whitechapel masih mampu merpertahankan unsur technical-nya.