Replace October 2016

Monday, October 24, 2016

Mimpi Buruk Leibniz dan Hegel



Leibniz dan Hegel mungkin akan bunuh diri jika mereka dibangkitkan dari kubur untuk menyaksikan fenomena sosial secara global saat ini. Mungkin mereka akan menembak kepala mereka sendiri ketika melihat konten dari pengguna Instagram. Atau mungkin juga mereka akan terbuai oleh kenikmatan materi dan fisik lalu mengkhianati apa yang telah mereka teguhkan selama berabad-abad.

Idealisme. Sebuah filosofi yang mereka teguhkan. Sebuah filosofi yang mengagungkan keperkasaan mental dan spiritual sebagai aspek esensial dari kehidupan, dengan asumsi bahwa materi dan fisik bersifat fana dan sekunder. Penilaian idealistis terhadap suatu hal ditentukan melalui ide-ide yang dimiliki oleh hal tersebut, bukan berdasarkan rupa. Sesuatu yang kasat mata yang dimiliki oleh seseorang, apa yang terdapat di dalam kepala dan hati seseorang, merupakan hal-hal yang menjadi parameter apakah orang tersebut layak disebut sebagai seorang manusia, atau hanyalah sebuah makhluk biologis yang makan, minum, tidur, buang air, dan masturbasi.

Orang-orang idealis berusaha mencapai kondisi mental yang ideal dimana mereka berupaya memiliki keunggulan intelektual, stabilitas emosional, dan kepekaan sosial. Mereka memiliki bahan bakar intelektual berupa rasa ingin tahu yang tinggi terhadap hal-hal yang mencerminkan intelektualitas, bukan hal-hal menjijikan seperti kehidupan pribadi para selebriti atau tren fashion yang sedang marak. Secara emosional pun mereka stabil. Logika dan emosi bersinergi dengan baik sehingga tidak menghasilkan perilaku impulsif dengan memborong barang secara eksesif pada saat midnight sale. Secara sosial, mereka memiliki kepekaan yang tinggi dengan upaya-upaya merenungkan dan berkontribusi atas peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Bukan justru bersosialisasi di sebuah cafe mewah dengan harga kopi yang tidak logis, memperbincangkan aib dan keburukan orang lain, foto-foto, dan upload ke Instagram dan Path demi mendapatkan predikat "sosialita".

Mereka tidak berusaha berperilaku dan berpenampilan seperti apa yang ditampilkan oleh media massa. Mereka tidak membuncitkan perut korporat secara tidak sadar, naïf, dan ignoran. Mereka berolahraga dengan tujuan kesehatan yang pada akhirnya berdampak positif secara mental, bukan berolahraga dengan tujuan agar mendapatkan perut six packs dan bentuk tubuh seperti selebriti yang disembah melalui layar kaca dan layar smartphone. Mereka tidak terobsesi dengan produk dari merk-merk seperti Starbucks, Apple, dan Louis Vuitton. Dan mereka tidak berorientasi dan dibutakan oleh gengsi, prestise, dan status sosial yang dikejar dengan cara melakukan konsumsi, konsumsi, dan konsumsi.

Namun saat ini, idealisme hanya menjadi sebuah artefak filosofis untuk dipelajari di bangku kuliah. Para idealis pun pada akhirnya dipandang sebagai kaum marginal yang aneh, norak, kuno, old-fashioned, dan lain sebagainya. Instagram adalah salah satu bukti bahwa idealisme telah menjadi usang. Dewa-dewi yang dikultuskan dalam Instagram adalah orang-orang yang melacurkan dirinya secara fisik dengan meng-upload foto-foto kemolekan tubuh dan keindahan rupa, serta orang-orang yang mengekspos materi dengan nilai esensial yang nihil. Konten tidak didasari oleh manfaat, kualitas dan bobot pesan visual yang terkandung, melainkan oleh seberapa jauh konten tersebut mampu menstimuli libido, seberapa mahal harga barang dan jasa yang digunakan, serta seberapa mewah tempat pengambilan foto.

Mungkin kini Leibniz dan Hegel sedang bersulang di dalam neraka, namun apabila mereka kembali hidup dan menyaksikan fenomena-fenomena menjijikan tersebut, mungkin hal itu akan menjadi mimpi terburuk mereka.