Replace February 2017

Thursday, February 23, 2017

Selamat Ulang Tahun, Anggi Ginara.

Anggi Ginara
(23 Februari 1998 - 11 Januari 2017)

Januari 2017 adalah awal tahun yang tergelap dalam hidup saya. Saya percaya dengan takdir, namun tahun ini diawali dengan tragedi-tragedi yang bagi saya, secara psikologis, berdampak cukup destruktif.

Baru saja mencapai hari kesebelas, 2017 sudah mengguncang mental saya dengan sebuah kabar menyedihkan. Di tengah tekanan dalam menghadapi UAS, ketika baru saja menginjakkan kaki di rumah, saya mendapatkan sebuah pesan LINE dari seorang kawan satu band saya di era SMA yang bernama Tedy. Sebuah kalimat singkat yang terdiri dari tiga buah kata:


Sebuah kalimat yang hingga detik ini masih kerap terlintas di benak saya menjelang tidur. Saya sempat terdiam sejenak, berusaha untuk mencerna pesan yang baru saja menerpa saya. Anggi Ginara, seorang kawan satu band saya di Blessed of Curse sejak 2012 yang telah berbagi lika-liku pengalaman manis dan pahitnya berjuang untuk sebuah band, telah meninggal dunia di hari itu akibat kecelakaan motor. Akibat shock, saya sempat bertanya-tanya apakah ini benar-benar sedang terjadi, atau hanya sebuah mimpi buruk di sore hari.

Menurut kabar yang disampaikan Tedy, Anggi sedang terburu-buru untuk menghadiri UAS dan mengalami kecelakaan tunggal di kawasan Lenteng Agung, hanya beberapa meter lagi untuk dapat tiba di kampusnya Universitas Pancasila. Saya membuka profil Instagram almarhum dan mengecek tag-tag fotonya. Empat atau lima tag foto terakhir merupakan kabar duka atas kematiannya. Di saat yang bersamaan, sebuah DM masuk ke akun Instagram saya yang berasal dari Aldo, yang juga merupakan anggota dari Blessed of Curse.



Sebuah kalimat yang sama seperti yang dikirimkan oleh Tedy via LINE. Beberapa detik kemudian, kawan saya Agatha mem-post foto memorial dengan sebagian caption yang bertuliskan "R.I.P Anggi Ginara". Dengan dua buah kabar buruk dan cross-check singkat melalui Instagram, saya telah cukup yakin bahwa ini benar-benar sedang terjadi. Saya menyampaikan kabar duka tersebut kepada Bagus, seorang kawan di band saya yang lain (Hatred) yang juga merupakan kawan almarhum yang sama-sama terlibat dalam dinamika perkembangan scene musik bawah tanah di Cileungsi. Dan Bagus memiliki reaksi yang serupa; terkejut, sedih, dan setengah tidak percaya.

Saya bergegas mengenakan baju koko dan celana jins untuk segera menuju rumah duka dan ketika itu hujan lebat sedang mengguyur. Waktu menunjukkan hampir pukul 6 sore dan Tedy belum mengetahui informasi terkait kapan dan di mana almarhum akan dimakamkan. Namun kemudian diketahui bahwa pemakamannya akan diadakan keesokan paginya di TPU Tlajung Udik, Bogor.

Sebuah pertimbangan muncul di benak saya bahwa apabila pada malam itu saya berangkat dari Pondok Kopi menuju rumah duka di Cileungsi, maka kemungkinannya adalah saya tidak dapat menghadiri pemakaman keesokan paginya. Dan saya bersikeras untuk dapat menghadiri pemakaman tersebut. Mengingat pukul 7 pagi saya masih harus menjalankan UAS, maka di malam itu tak ada yang bisa saya lakukan kecuali merencanakan perjalanan untuk esok hari dari kampus saya di Senayan menuju TPU Tlajung Udik, dan berdoa yang terbaik untuk almarhum.

Malam itu tidak berjalan seperti biasanya. Seisi kepala saya dipenuhi oleh kenyataan bahwa Anggi telah meninggal dunia di usianya yang belum mencapai 19 tahun. Saya mencolokkan earphone di ponsel saya dan memutar sebuah lagu yang kami rilis empat tahun lalu:



Ketika lagu tersebut berkumandang di kedua telinga saya, dampak emosional yang diberikan membuat saya tak kuasa menahan kesedihan dan duka mendalam, serta berhasil menghidupkan serangkaian memori-memori yang pernah kami alami selama bertahun-tahun.

Di malam itu pula, saya kehilangan sebagian besar fokus hingga saya cukup sulit untuk diajak bicara dan memahami apa yang sedang dikatakan oleh orang-orang sekitar. Saya tidak perduli lagi dengan belajar untuk mempersiapkan UAS di esok hari. Saya mematikan ponsel dan mengurung diri di kamar, berusaha untuk memulihkan jiwa dari 'hantaman keras' yang saya dapatkan beberapa jam lalu. Jika biasanya saya adalah orang yang mudah tertidur, malam itu sungguh berbeda. Saya hanya berbaring dan menatap plafon dengan kesadaran penuh dan pikiran yang mengawang-awang.

***

Pada pukul 8:30 pagi saya menyerahkan kertas ujian kepada dosen pengawas dan bergegas menuju halte di depan Ratu Plaza. Tedy memberikan kabar bahwa ketika itu jenazah almarhum sedang akan disolatkan dan akan dimakamkan pukul 10:00. Saya hanya berharap Tuhan mengizinkan saya dengan melancarkan perjalanan agar dapat menghadiri pemakaman  dan memberikan penghormatan terakhir untuk almarhum. Tak selang beberapa menit, bus APTB jurusan Blok M - Cileungsi melintas dan saya menaikinya.

Ajaibnya, meskipun sama sekali tanpa tidur di malam hari, saya tidak merasakan kantuk, melainkan hanya lemas dan mental yang tertekan akibat lamunan tanpa henti. Di dalam bus saya tidak dapat mengendalikan diri dari mencari informasi mengenai tragedi yang terjadi kurang dari 24 jam lalu dan saya menemukan sebuah berita dari situs detik.com dengan judul Pengendara Motor Ninja Tewas Akibat Kecelakaan di Depan Stasiun UP.

Tak terasa, kurang dari 45 menit bus APTB yang saya tumpangi tiba di tujuan. Alhamdulillah, Tuhan menjadikan lalu-lintas di saat itu sangat bersahabat. Saya bertemu Bagus di perempatan Nagrak dan kami menuju TPU Tlajung Udik dengan jarak sekitar 8 kilometer. Di perjalanan saya bercakap-cakap dengan Bagus dan saya yakin ia sama terkejutnya dengan saya ketika mendengar kabar kematian Anggi. Pasalnya, sehari sebelum kematiannya, Anggi mengunjungi tempat kerja Bagus di McDonald's untuk membeli sarapan bersama sang ayah. Ia menjabat tangan Bagus dan berkata "Gue kangen suara lo, Gus." kepada Bagus yang notabene adalah seorang vokalis hardcore. Dan di luar ekspektasi siapapun, momen tersebut menjadi pertemuan terakhir di antara dua orang kawan.

Sekitar pukul 10:30 kami tiba di Tlajung Udik, sebuah tempat pemakaman umum di kaki perbukitan kawasan Citeureup, Bogor, Jawa Barat. Mobil jenazah sudah terparkir bersama dengan mobil-mobil pelayat. Gerbang pemakaman dipenuhi oleh berbagai macam karangan bunga dan ketika kami memasuki kompleks pemakaman, terlihat sekitar lebih dari seratus orang yang membludak dalam duka dengan tujuan melihat seorang Anggi Ardana Noor Islami Kosasih untuk yang terakhir kalinya.


Seiring dengan taburan bunga dan doa-doa yang berkumandang, pikiran saya mengawang kembali ke tahun 2012, tentang bagaimana saya dapat mengisi lima tahun terakhir dari hidup seorang Anggi Ginara. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMA, bersama dengan Bagus, Agatha (kawan di band hardcore saya, Hatred), dan Jerry yang ketika itu memiliki sebuah band deathcore bernama Blessed of Curse dengan teman-teman perumahannya di Pondok Damai, Cileungsi. Perbincangan kami di waktu istirahat adalah segala sesuatu tentang musik bawah tanah. Hingga suatu saat saya tertarik untuk memiliki sebuah band deathcore dan Jerry adalah satu-satunya siswa yang merupakan seorang vokalis yang tergabung dalam sebuah band deathcore. Maka saya mengajaknya untuk membentuk sebuah band baru, namun pada akhirnya justru saya direkrut sebagai drummer untuk bandnya Blessed of Curse.

Kami sepakat untuk berlatih pada suatu malam, setelah sesi latihan saya bersama Hatred di sebuah studio musik yang bernama PNF Studio. Di malam itu Jerry mengenalkan saya dengan rekan-rekan band yang lain; Aldo, Tedy, dan Anggi. Ketika itu kami semua masih berusia belasan tahun. Tedy 17 tahun, Jerry 16 tahun, saya dan Aldo 15 tahun, dan Anggi 14 tahun. Almarhum adalah yang termuda dan paling berbakat. Ia menguasai tiga jenis instrumen musik, yaitu bass, gitar, dan drum ketika masih duduk di bangku SMP.

Setelah beberapa kali berlatih, pada November 2012 kami melakukan sesi photoshoot perdana di kawasan perumahan Legenda Wisata, Cibubur.

(Kiri-kanan) Saya, Tedy, Jerry, Anggi, dan Aldo.
Sebulan kemudian, kami mendapatkan panggung pertama kami di Studio Mazaya, Pondok Gede bersama dengan Hatred. Panggung-panggung berikutnya pun kami dapatkan di berbagai venue di wilayah Bogor, Bekasi, dan Jakarta Timur dengan berbagai macam perjuangan dari mulai menabung bersama untuk biaya registrasi, bermotor hujan-hujanan, melewati banjir, hingga meneduh setiap beberapa meter di berbagai warung kopi lengkap dengan tas-tas berisi instrumen musik yang kami bawa.

Dua momen antara saya dengan almarhum yang sungguh pilu jika saya memikirkannya adalah ketika sesi rekaman lagu "Resah" dan di perjalanan pulang pasca manggung di Cibinong ketika saya diboncengi oleh almarhum. Di tahun 2013 kami merekam lagu tersebut dimulai dari sore hari hingga tengah malam. Sekitar pukul 7 malam, saya dan almarhum keluar untuk membeli suplai nasi goreng. Kami makan di sebuah tenda nasi goreng di pinggir jalan kawasan Cibinong dan membungkus tiga porsi untuk Jerry, Aldo, dan Tedy. Sambil menyantap nasi goreng di tempat itu, kami curhat mengenai permasalahan personal dan keluarga. Kami bertukar cerita dan berdiskusi secara mendalam terkait masalah-masalah tersebut. Saya merasa cukup beruntung untuk sempat menghabiskan waktu secara personal seperti itu dengan almarhum.

Yang kedua adalah di sore hari, ketika almarhum memboncengi saya dalam perjalanan pulang lengkap dengan dua tas berisi bass dan double pedal pasca manggung di Gedung KNPI Cibinong. Topik diskusi kami saat itu adalah mengenai masa depan dan berapa lama Blessed of Curse akan bertahan ketika kami semua sudah berkuliah dan bekerja. Ia menanyakan apa yang saya akan lakukan setelah lulus SMA. Saya berkata bahwa saya akan berkuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Ia pun berkata bahwa ia akan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, yang berarti ia akan menjadi junior ayah saya, karena ayah saya adalah alumni FHUP.

Kemudian ia bercerita mengenai berbagai cita-citanya, bahwa suatu hari ia akan menjadi seorang sarjana hukum dan mendapatkan sebuah pekerjaan yang mapan, bahwa ia akan mengendarai sebuah mobil ke kampusnya, bahwa ia akan menikah dan memiliki anak, dan lain sebagainya. Namun rupanya Tuhan memberikan takdir lain dan mengingat percakapan tersebut membuat saya sangat pilu hingga detik ini.

Singkat cerita, setelah lulus SMA di 2014, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Blessed of Curse dan dua band lainnya (Kraken dan Dead Ceremony) dikarenakan saya harus pindah ke rumah nenek saya agar lebih dekat menuju kampus saya di Hang Lekir, Senayan. Hatred pun mengalami hiatus. Saya hanya dapat pulang ke Cileungsi dengan frekuensi sebulan sekali dan sangat singkat akibat tugas perkuliahan yang cukup banyak.

Pada awal 2015, saya mengajak Anggi, Agatha, dan Bagus untuk membentuk sebuah band punk rock, namun kami hanya sekali bertemu untuk menggarap sebuah lagu di rumah Bagus dan proyek tersebut pun terkubur oleh kesibukan kami masing-masing. Ironisnya di awal 2015 tersebut merupakan terakhir kalinya saya bertemu dengan almarhum, dan dua tahun kemudian saya kembali bertemu dengannya, namun dengan situasi yang berbeda, yaitu menghadiri pemakamannya.

Beberapa minggu sebelum kematiannya, almarhum sempat mengirimkan saya sebuah pesan melalui kolom komentar di sebuah foto saya di Instagram:


Saya mengirim QR Code akun LINE saya kepadanya melalui DM, namun entah mengapa ia tak kunjung mengirimkan saya pesan melalui LINE hingga ia meninggal dunia beberapa minggu setelahnya.

Tak selang beberapa minggu setelah kematiannya, saya kembali mendapatkan kabar duka yang datang dari ayah dari pemain bass saya di Toilet Surfers, Fikra Putra, yang juga meninggal dunia. Januari 2017 benar-benar gelap bagi saya. Dua kabar duka dari orang-orang sekitar cukup membuat saya terguncang secara psikologis. Saya berdoa yang terbaik untuk mereka yang telah tiada, dan biarkan ini menjadi penempa mental saya untuk menghadapi hari-hari selanjutnya di kehidupan ini.

Hari ini, 23 Februari merupakan hari ulang tahun almarhum. Terasa ironis dan sangat menyedihkan ketika kita mengingat bahwa hari ini adalah hari kelahiran dari seseorang yang telah tiada. Namun Insya Allah saya yakin dan terus berdoa bahwa saat ini Anggi Ginara sedang berbahagia di sebuah tempat yang sangat indah, yang masih menjadi misteri bagi kita semua yang masih hidup.

Nggi, now your birthday might be ironic and mentally-painful to all of us, but we all are sure you've got your eternal happiness. We all miss you, forever and after.

Thursday, February 16, 2017

Terwujudnya Mimpi Analog


Ketika saya masih kelas 2 SMA di tahun 2012 silam, saya menyadari bahwa ternyata di era modern yang serba digital ini, hampir seluruh musisi internasional masih merilis karya mereka dalam format piringan hitam atau vinyl. Di sekitar periode itu pula, sedikit demi sedikit pecinta musik tanah air mulai beralih dari format digital, kembali ke format analog.

Sebelumnya, mari kita bahas bagaimana perbedaan format analog dan digital. Hingga saat ini, cukup banyak jumlah masyarakat awam yang belum mengetahui perbedaan tersebut sehingga preferensi mereka terhadap format digital belum juga tergoyah.

Secara input, dalam proses merekam musik secara analog, media penyimpanan yang digunakan adalah pita. Mixer yang digunakan pun benar-benar mixer fisik yang ukurannya cukup besar. Amplifier yang digunakan benar-benar head dan cabinet yang ditodong mikrofon. Tidak ada monitor komputer, tidak ada Pro Tools, tidak ada vst plugins, dan lain sebagainya.

Sementara itu, seperti yang sering kita jumpai saat ini, proses rekaman secara digital menggunakan komputer beserta monitor, software, plugins, bahkan amplifier yang digunakan pun bersifat digital. Dengan hanya bermodalkan sebuah PC, soundcard, dan mikrofon, sebuah karya musik dapat dihasilkan dengan mudah. Format output-nya pun berupa sekumpulan bahasa pemrograman komputer yang diolah menjadi sebuah file, yang kemudian dapat di-burn ke dalam sebuah CD.

Dengan segala kecanggihan sebuah software, proses rekaman secara digital membuat segalanya menjadi instan. Apabila suara sang penyanyi fals, dapat diperbaiki dengan autotune. Apabila tempo acak-acakan, bisa diperbaiki dengan proses quantizing. Berbeda dengan proses rekaman secara analog yang membutuhkan persiapan yang matang dan waktu yang cukup lama. Maka terdapat sebuah anekdot bahwa musisi yang eksis di era analog jauh lebih berkualitas karena ditempa oleh keterbatasan teknologi. Sebaliknya, musisi masa kini yang terlena dengan dimanja oleh teknologi digital membuat performa dan kualitas mereka prematur.

Secara output, memang format digital seperti file MP3 atau CD menghasilkan audio yang jernih dan minim noise. Namun mendengarkan sebuah lagu digital dan menyaksikan musisinya bermain secara live jelas berbeda, bukan? Nah, format analog mampu meng-capture 'nyawa' dari suara dan instrumen musik yang dimainkan beserta noise-nya sehingga output yang dihasilkan jauh lebih organik, dan pengalaman menyaksikan musisi secara live lebih bisa didapatkan oleh format analog seperti kaset atau vinyl.

Kendalanya terletak pada permasalahan praktis atau tidaknya. Format digital memang lebih mudah dinikmati kapan pun dan dimana pun tanpa harus membawa-bawa turntable, speaker, atau tape. Cukup dengan mengunduh, musik dapat dinikmati dengan diputar melalui ponsel, atau membeli CD dan diputar dengan CD player di mobil.

Sedangkan format analog cukup memakan ruang dan membutuhkan waktu khusus untuk menikmatinya. Biaya yang dibutuhkan pun cukup besar karena harga produk-produknya cukup mahal dan perawatannya pun cukup merepotkan. Belum lagi setiap sekitar 500 jam pemutaran, jarum yang terdapat di turntable harus diganti. Dan terdapat pula resiko scratch pada vinyl yang berakibat pemutaran yang skipping atau 'loncat-loncat'. Akibat sensitivitasnya yang tinggi, maka dibutuhkan penanganan yang ekstra hati-hati.

Namun jangan lupa, selain vinyl, kaset pun tergolong dalam format analog, walaupun kualitas dan detail yang diberikan tidak mampu bersaing dengan apa yang diberikan oleh sebuah vinyl.

Kembali ke pengalaman saya, di tahun 2014 ketika saya lulus dari SMA, saya mengunjungi Pasar Santa untuk melihat-lihat berbagai toko vinyl yang terdapat di sana. Ketertarikan saya terhadap vinyl memuncak ketika saya memasuki sebuah toko dan didalamnya, vinyl album Slipknot yang berjudul .5: The Gray Chapter sedang diputar. Dengan spesifikasi turntable, amplifier, dan speaker yang anyar, saya benar-benar merasakan bahwa Corey Taylor cs sedang manggung di depan mata saya. Hal tersebut menjadi turning point bahwa saya benar-benar harus segera meninggalkan format digital dan beralih ke format analog, khususnya vinyl.

Ketika itu, saya menetukan target bahwa di tahun 2015 saya harus sudah memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah turntable, speaker active, dan beberapa vinyl. Namun ketika itu, prioritasnya tergeser oleh kebutuhan band saya Toilet Surfers. Maka tabungan di tahun 2015 saya gunakan untuk membeli sebuah gitar akustik-elektrik dan sebuah combo amplifier untuk gitar. Target momentum peralihan menuju format analog pun terundur ke tahun 2016. Dengan tabungan yang minim dan keinginan yang menggebu-gebu, di tahun 2016 saya menjadikan kaset sebagai alternatif dalam menikmati format analog. Saya membeli berbagai kaset-kaset bekas di Blok M untuk dinikmati sekaligus dijual secara online. Di saat itulah saya memulai sebuah bisnis penjualan kaset dan merchandise band yang saya beri nama Pills Jakarta (sekarang sudah bangkrut). Namun di tahun 2016 pula, Alhamdulillah, Toilet Surfers mulai mendapatkan panggung dan memasuki dapur rekaman, sehingga prioritasnya pun lagi-lagi tergeser, oleh pembelian sebuah gitar elektrik Fender Stratocaster dan sebuah pedal efek distorsi Boss DS-1 dari hasil keuntungan Pills Jakarta.

Pasca perilisan single perdana Toilet Surfers yang berjudul Sick Weirdo pada Agustus 2016, saya kembali dapat menabung dan memantapkan hati bahwa 2017 harus menjadi tahun di mana setidaknya sebuah turntable dan beberapa vinyl harus sudah berada di kamar saya. Kebetulan kakek saya merupakan seorang kolektor vinyl dan memiliki beberapa turntable. Sebelumnya saya belum pernah mengutarakan keinginan saya untuk menjadi penikmat musik dengan format analog. Namun ketika itu saya mulai berkonsultasi kepada beliau dengan meminta saran dan rekomendasi sebagai referensi pembelian turntable dan vinyl di masa mendatang.

Beberapa kali beliau mengajak saya untuk melihat-lihat vinyl di Blok M, namun saya selalu tidak sempat akibat kesibukan kuliah dan mengurus band. Sesekalinya saya memiliki waktu luang untuk ke Blok M, kakek saya sedang ada pekerjaan di luar kota. Maka saya pergi sendiri dan menemukan sebuah belt-drive turntable bermerk Audio-Technica seri AT-LP60 yang rencananya akan saya beli ketika tabungan sudah mencukupi.

Pada 12 Februari 2017, tanpa disangka, kakek saya membelikan sebuah portable turntable bermerk Crosley seri Cruiser II dengan built-in speaker sehingga dapat langsung dinikmati tanpa harus membeli speaker aktif tambahan (walaupun sangat direkomendasikan). Beliau pun membelikan sebuah vinyl album Pinkerton dari salah satu band favorit saya sepanjang masa, Weezer. Jujur, mendengar kabar itu saya menjadi girang setengah mati.

Saya bergegas menuju sebuah toko bernama PHR (Piringan Hitam Records) di STC Senayan untuk mengambil barang yang telah dibelikan oleh kakek saya. Di toko itu pula saya bertemu dengan salah seorang paman saya yang ternyata juga merupakan seorang kolektor vinyl. Beliau berkata bahwa suatu saat ia akan memberikan sebagian koleksi vinyl-nya kepada saya. Kegirangan saya berlipat ganda. Secara kompulsif, saya hilang kendali dan hampir menguras seluruh tabungan saya untuk membeli dua buah vinyl tambahan yaitu album self-titled dari Misfits dan Enema of The State dari Blink-182. Keduanya saya beli dalam kondisi baru sehingga harganya cukup membuat saya kembali hidup ekstra hemat.

Sampai di rumah, vinyl Enema of The State dari Blink-182 lah yang pertama kali saya putar. Dan ketika track pertama "Dumpweed" mulai bergema, saya tergetar secara emosional oleh suara organik yang dihasilkan, yang berhasil memberikan saya pengalaman 'simulasi' menyaksikan Blink-182 secara langsung, yang selama ini belum pernah terwujud. Begitupula dengan album Pinkerton dari Weezer dan self-titled-nya Misfits yang menjadikan malam itu terasa seakan saya sedang berkomunikasi secara emosional dengan Tom DeLonge, Rivers Cuomo, Jerry Only, dan para personil lainnya dari Blink-182, Weezer, dan Misfits.

Walaupun saya merasa puas, namun akibat hanya mengandalkan built-in speaker dari Crosley Cruiser II, gain yang dihasilkan kurang maksimal. Saya mulai browsing berbagai situs jual-beli online untuk mengetahui kisaran harga speaker aktif dan ternyata rata-rata semuanya di atas Rp. 1.000.000. Saya cukup merasa frustrasi, mengingat sisa tabungan saya cukup tipis. Namun setelah memikirkan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk membeli sebuah multimedia speaker bermerk Microlab seri B56 seharga Rp. 175.000 rupiah dan sebuah kabel AUX - RCA agar dapat disambungkan ke turntable.


Cranked-up by Microlab B56
Alhamdulillah hasilnya tidak mengecewakan. Microlab B56 cukup berhasil meng-crank up gain yang dihasilkan oleh Crosley Cruiser II. Akibatnya beberapa hari belakangan ini, saya jarang sekali meninggalkan kamar. Setiap ada waktu luang selalu saya gunakan untuk memutar vinyl-vinyl tersebut. Terkadang saya bermain gitar dan bernyanyi mengiringi alunan gelombang analog. Bahkan ironisnya, karena terlalu sering diputar dan kurang hati-hati, terdapat skip atau loncatan selama sepersekian detik di lagu "Dumpweed" dan "Aliens Exist" pada vinyl Enema of The State. Namun saya tidak terlalu ambil pusing karena saya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari seni menikmati dan mengoleksi vinyl.

Kini saya mulai menjalankan hidup ekstra hemat agar dapat menabung lagi dengan target menambah enam buah vinyl yang setidaknya, mudah-mudahan, dapat saya beli satu per satu setiap bulan, yaitu album Slipknot - Iowa,  Black Flag - Damaged, Minor Threat - Out of Step, Beastie Boys - Check Your Head, Alkaline Trio - From Here to Infirmary, dan Blur - self-titled. Mudah-mudahan saja jarum dan cartridge yang saya miliki bertahan lama sehingga saya tidak perlu menggantinya dalam waktu dekat.

Memang dibutuhkan kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan dalam menjalankan sebuah hobi, terutama vinyling. Namun saya percaya bahwa semua itu berbanding lurus dengan kepuasan dan kebahagiaan jiwa yang didapatkan.

Wednesday, February 15, 2017

Hari Valentine: Sebuah Romantika Polemik

Dari sekian banyak ciri sosiologis masyarakat Indonesia, terdapat satu ciri yang baru saja saya sadari. Masyarakat Indonesia cenderung bersifat resisten. Pilar-pilar nilai dan norma yang mengakar kuat di dalam diri membuat kita memiliki kecenderungan untuk menolak, menentang, dan bertahan dari unsur-unsur kultural yang tidak sesuai dengan pilar-pilar tersebut.

Saya tidak menyalahkan bangsa saya sendiri, namun sebagai seorang individu yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, saya sering sekali menyaksikan peristiwa sosial ketika sekelompok masyarakat menghimbau dan melarang sesamanya, seperti melakukan pelarangan pengucapan selamat hari raya kepada umat agama lain, pelarangan penggunaan atribut agama lain, pencekalan film, hingga pelarangan perayaan Hari Valentine yang menurut saya merupakan sesuatu yang konyol dan sia-sia. Pencegahan seks bebas dan cultural mismatch menjadi dasar atas pelarangan perayaan Hari Valentine. Mari kita bedah satu per satu.

Pada Oktober 2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kementerian Kesehatan merilis sebuah hasil survei yang menunjukkan bahwa 62,7% remaja di Indonesia telah berhubungan seks pranikah, dan 21% di antaranya telah melakukan aborsi. Pertanyaannya adalah seberapa banyak dari remaja-remaja tersebut yang melakukan seks pranikah tepat di Hari Valentine? Mengapa penjualan kondom diperketat hanya secara periodik pada Hari Valentine saja? Saya rasa jika pihak otoritas benar-benar mengupayakan pencegahan seks bebas, alangkah baiknya penjualan kondom diperketat secara berkesinambungan.

Dari hal tersebut, kita mendapatkan satu lagi ciri sosiologis masyarakat Indonesia. Kita cenderung melakukan sesuatu secara periodik, pada waktu-waktu tertentu saja. Sweeping tempat maksiat umumnya dilakukan di bulan Ramadhan, pengamanan ekstra umumnya diberlakukan menjelang dan pada hari Natal, dan termasuk pula perihal razia kondom dalam rangka pelarangan perayaan Hari Valentine. Apakah mereka tidak sadar bahwa aksi-aksi periodik tersebut menimbulkan suatu pola? Dan saya cukup yakin pola tersebut dapat dipahami oleh para pelaku penyimpangan sosial dan justru membuat mereka menjadi lebih mahir untuk 'bermain cantik'.

Kemudian cultural mismatch atau ketidaksesuaian budaya dianggap menjadi dasar kedua atas pelarangan perayaan Hari Valentine. Kita dapat menyaksikan bahwa nilai-nilai agama menjadi landasan utama atas pembentukan kultur dan norma sosial bagi masyarakat Indonesia. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, memiliki sebuah dalil berupa hadis dimana Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR Abu Dawud, hasan).

Saya sedang tidak mencoba menjadi seorang penafsir hadis, namun saya rasa hal itu memuat konteks keimanan, bukan sosial. Umat Islam dilarang untuk menggunakan atribut agama lain dan memang betul adanya, sebab berdasarkan hadis tersebut apabila seorang muslim melakukannya, maka ia dianggap telah menjadi bagian dari umat agama lain. Namun saya rasa Hari Valentine bukanlah suatu gerakan religius, melainkan suatu gerakan sosial untuk menentang otoritas.

Kata valentine sendiri digunakan sebagai memorial atas seorang pendeta bernama Valentine. Pada abad ke-3 di era Romawi Kuno, Kaisar Claudius II berasumsi bahwa prajurit-prajurit yang belum menikah memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan mereka yang sudah berkeluarga. Maka ia melarang pernikahan di usia muda, dan Valentine merasakan ketidakadilan. Sebagai seorang pendeta, ia tetap bersikeras untuk menginisiasikan akad nikah bagi kalangan muda. Dianggap melanggar hukum, Emperor Claudius II melakukan hukuman pemenggalan kepala terhadap Valentine pada tanggal 14 Februari. Sejak saat itulah Valentine dianggap sebagai seorang martir sehingga nama dan tanggal kematiannya dijadikan hari kasih sayang.

Memang betul adanya bahwa sejarah Hari Valentine terkait dengan agama katolik karena St. Valentine merupakan seorang pendeta katolik, dan juga budaya barat karena ia berasal dari Eropa. Namun menurut saya kejadian itu justru didominasi oleh nilai-nilai politik dan sosial, dibanding keagamaan. Maka saya rasa, baik secara kultural maupun keagamaan, merayakan Hari Valentine bukanlah sesuatu yang salah, asalkan tidak dijadikan sebagai momentum untuk melakukan kemaksiatan dan penyimpangan sosial. Lagi pula saya percaya banyak hal positif yang dapat dipetik dari perayaan Hari Valentine, dari mulai mempererat tali silaturahmi agar lebih harmonis, hingga mendatangkan rezeki ekstra bagi para penjual cokelat dan bunga.

Namun terdapat hal konyol lainnya yang berkaitan dengan Hari Valentine. Antusiasme eksesif masyarakat global membuat perayaan Hari Valentine menjadi suatu penentuan status sosial. Bagi mereka yang tidak merayakan Hari Valentine akan termarginalisasi, sehingga tak jarang peristiwa tersebut kerap 'dipotret' dalam bentuk meme internet yang menggambarkan betapa tragis dan memalukannya keluhan orang-orang yang tidak merayakan Hari Valentine. Meme tersebut merupakan sebuah screenshot halaman pencarian Google dengan kata kunci "How to fake death to avoid Valentine's Day" atau "Bagaimana cara memalsukan kematian untuk menghindari Hari Valentine"

Sangat menggelitik sekaligus menjijikan. Berdasarkan meme tersebut, masih banyak orang-orang yang menganggap Hari Valentine sebagai sesuatu yang apabila tidak dirayakan akan menyebabkan pengucilan sosial. Ya, menurut saya sah-sah saja untuk merayakan Hari Valentine, namun bukanlah suatu kewajiban untuk memperdulikannya. Ketahuilah bahwa momen-momen seremonial seperti Hari Valentine merupakan sebuah peluang marketing yang potensial, dan dibaliknya terdapat sejumlah korporat kapitalis yang memanfaatkan momentum tersebut sebagai komoditas komersial. Ketika kalian merasa minder akibat tidak merayakan Hari Valentine, hal itulah yang diinginkan terjadi oleh para korporat kapitalis. Kalian rugi, mereka untung. Jadi, buat apa perduli?
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4

Friday, February 10, 2017

Segerombol Konformis yang Latah dan Imitatif

Sudah memasuki bulan kedua di 2017 dan atmosfer tahun baru sudah mulai menipis. Di awal tahun hampir semua orang berlomba-lomba mengekspresikan antusiasme mereka terhadap tahun baru. Pesta pora, hura-hura, bakar ini-itu, konsumsi, konsumsi, dan konsumsi.

Jujur hal tersebut membuat saya bertanya-tanya. Memang bukanlah suatu kewajiban untuk ikut serta merayakan atau setidaknya merasa antusias terhadap tahun baru. Namun mengapa kebanyakan orang seperti itu? Sekedar bersenang-senang? Bukankah bersenang-senang dapat dilakukan kapan saja? Sebagai momentum pembaharuan diri agar menjadi lebih baik? Bukankah memperbaiki diri dapat dilakukan kapan saja, atau lebih baik lagi setiap saat?

Konformitas semacam itu sebagai perilaku sosial yang membuat saya heran dan tertawa melihat segerombol individu melakukan hal yang sama, meniru dan bersikap latah dari waktu ke waktu. Memang betul adanya perayaan tahun baru merupakan hal yang wajar dan lumrah, mungkin karena setiap saat kita dibombardir oleh pesan dan konten perayaan tahun baru melalui segala bentuk media, dari mulai film, literatur, media sosial, iklan, musik, dan lain sebagainya.

Jika diperhatikan masyarakat global memiliki kecenderungan untuk memaklumi dan meniru segala hal secara kolektif, ketika hal tersebut disuguhi secara simultan melalui media. Bahkan jika hal tersebut tidak etis, tidak estetis, atau bahkan tidak manusiawi. Contoh kecilnya adalah ketika masyarakat global bersikap latah dan meniru segenap gaya hidup keluarga Jenner dan Kardashian. Jujur, saya cukup muak melihat banyak sekali wanita yang mengenakan choker dan memonyong-monyongkan bibir, berusaha keras mengimitasi Kylie Jenner.

Atau dalam skala lokal, fenomena popularitas YouTubers yang menyebabkan banyak pria rela mengorbankan kejantanannya dengan mewarnai rambut dan mengenakan kaos yang terlihat seperti daster. Mungkin kini dengan berdandan seperti itu dapat diidentifikasi sebagai seorang pria yang jantan. Hal itu  jelas menunjukkan bahwa definisi jantan dan maskulinitas telah bergeser secara signifikan.

Begitupula dengan gaya hidup. Lagi-lagi saya muak melihat konten Instagram dan YouTube yang seragam; di mall, di klub malam, di restoran, atau di tempat penginapan mewah di sekitar Bali. Mengapa harus seperti itu? Agar mendapat predikat 'gaul'? Agar menjadi populer di media sosial seperti Awkarin? Mungkin mereka akan mencoba mematahkan asumsi saya dengan menyuarakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan mereka bebas berbuat apapun selama tidak melanggar hukum. Begitupula dengan saya, bukan? Saya pun memiliki hak untuk menolak konformitas sosial dan beropini selama tidak melanggar hukum.

Pertanyaan terbesarnya adalah mengapa harus menjadi latah dan meniru? Mengapa harus menjadi konformis dan imitator, sementara kita bisa menciptakan dan menjalankan gaya hidup kita sendiri yang sesuai dengan standar etika dan estetika masing-masing?

Dan berapa lama mereka akan menggandrungi suatu tren? Kita dapat amati betapa mudahnya bagi mereka untuk merubah konsep diri dan menyesuaikannya dengan tren yang sedang populer. Sungguh memprihatinkan betapa mudahnya mereka dikendalikan oleh korporat kapitalis yang membentuk dan menentukan tren, sekaligus mengambil keuntungan komersil dari hal itu. Mereka benar-benar terkesan seperti sekelompok individu yang mengalami krisis identitas yang tak henti-henti. Atau lebih tepatnya bagaikan segerombolan domba yang mengikuti ke arah manapun si peternak menggiringnya untuk dieksploitasi.

Saya tertawa sendiri ketika memikirkan hal ini; seandainya The Jenners, The Kardashians, Justin Bieber, Young Lex, Awkarin, Rich Chigga, Reza Oktovian, dan para role model masa kini lainnya secara bersamaan mengonsumsi kotoran mereka sendiri dan dipublikasi oleh media massa dan akun media sosial mereka, apakah kalian akan turut mengimitasi hal tersebut?