Ketika saya masih kelas 2 SMA di tahun 2012 silam, saya menyadari bahwa ternyata di era modern yang serba digital ini, hampir seluruh musisi internasional masih merilis karya mereka dalam format piringan hitam atau
vinyl. Di sekitar periode itu pula, sedikit demi sedikit pecinta musik tanah air mulai beralih dari format digital, kembali ke format analog.
Sebelumnya, mari kita bahas bagaimana perbedaan format analog dan digital. Hingga saat ini, cukup banyak jumlah masyarakat awam yang belum mengetahui perbedaan tersebut sehingga preferensi mereka terhadap format digital belum juga tergoyah.
Secara input, dalam proses merekam musik secara analog, media penyimpanan yang digunakan adalah pita.
Mixer yang digunakan pun benar-benar
mixer fisik yang ukurannya cukup besar. Amplifier yang digunakan benar-benar
head dan
cabinet yang ditodong mikrofon. Tidak ada monitor komputer, tidak ada
Pro Tools, tidak ada
vst plugins, dan lain sebagainya.
Sementara itu, seperti yang sering kita jumpai saat ini, proses rekaman secara digital menggunakan komputer beserta monitor,
software, plugins, bahkan amplifier yang digunakan pun bersifat digital. Dengan hanya bermodalkan sebuah PC,
soundcard, dan mikrofon, sebuah karya musik dapat dihasilkan dengan mudah. Format
output-nya pun berupa sekumpulan bahasa pemrograman komputer yang diolah menjadi sebuah
file, yang kemudian dapat di-
burn ke dalam sebuah CD.
Dengan segala kecanggihan sebuah
software, proses rekaman secara digital membuat segalanya menjadi instan. Apabila suara sang penyanyi fals, dapat diperbaiki dengan
autotune. Apabila tempo acak-acakan, bisa diperbaiki dengan proses
quantizing. Berbeda dengan proses rekaman secara analog yang membutuhkan persiapan yang matang dan waktu yang cukup lama. Maka terdapat sebuah anekdot bahwa musisi yang eksis di era analog jauh lebih berkualitas karena ditempa oleh keterbatasan teknologi. Sebaliknya, musisi masa kini yang terlena dengan dimanja oleh teknologi digital membuat performa dan kualitas mereka prematur.
Secara
output, memang format digital seperti
file MP3 atau CD menghasilkan audio yang jernih dan minim
noise. Namun mendengarkan sebuah lagu digital dan menyaksikan musisinya bermain secara
live jelas berbeda, bukan? Nah, format analog mampu meng
-capture 'nyawa' dari suara dan instrumen musik yang dimainkan beserta
noise-nya sehingga
output yang dihasilkan jauh lebih organik, dan pengalaman menyaksikan musisi secara
live lebih bisa didapatkan oleh format analog seperti kaset atau
vinyl.
Kendalanya terletak pada permasalahan praktis atau tidaknya. Format digital memang lebih mudah dinikmati kapan pun dan dimana pun tanpa harus membawa-bawa
turntable, speaker, atau
tape. Cukup dengan mengunduh, musik dapat dinikmati dengan diputar melalui ponsel, atau membeli CD dan diputar dengan
CD player di mobil.
Sedangkan format analog cukup memakan ruang dan membutuhkan waktu khusus untuk menikmatinya. Biaya yang dibutuhkan pun cukup besar karena harga produk-produknya cukup mahal dan perawatannya pun cukup merepotkan. Belum lagi setiap sekitar 500 jam pemutaran, jarum yang terdapat di
turntable harus diganti. Dan terdapat pula resiko
scratch pada
vinyl yang berakibat pemutaran yang
skipping atau 'loncat-loncat'. Akibat sensitivitasnya yang tinggi, maka dibutuhkan penanganan yang ekstra hati-hati.
Namun jangan lupa, selain
vinyl, kaset pun tergolong dalam format analog, walaupun kualitas dan detail yang diberikan tidak mampu bersaing dengan apa yang diberikan oleh sebuah
vinyl.
Kembali ke pengalaman saya, di tahun 2014 ketika saya lulus dari SMA, saya mengunjungi Pasar Santa untuk melihat-lihat berbagai toko
vinyl yang terdapat di sana. Ketertarikan saya terhadap
vinyl memuncak ketika saya memasuki sebuah toko dan didalamnya,
vinyl album Slipknot yang berjudul
.5: The Gray Chapter sedang diputar. Dengan spesifikasi
turntable, amplifier, dan
speaker yang anyar, saya benar-benar merasakan bahwa Corey Taylor cs sedang manggung di depan mata saya. Hal tersebut menjadi
turning point bahwa saya benar-benar harus segera meninggalkan format digital dan beralih ke format analog, khususnya
vinyl.
Ketika itu, saya menetukan target bahwa di tahun 2015 saya harus sudah memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah
turntable, speaker active, dan beberapa
vinyl. Namun ketika itu, prioritasnya tergeser oleh kebutuhan band saya Toilet Surfers. Maka tabungan di tahun 2015 saya gunakan untuk membeli sebuah gitar akustik-elektrik dan sebuah
combo amplifier untuk gitar. Target momentum peralihan menuju format analog pun terundur ke tahun 2016. Dengan tabungan yang minim dan keinginan yang menggebu-gebu, di tahun 2016 saya menjadikan kaset sebagai alternatif dalam menikmati format analog. Saya membeli berbagai kaset-kaset bekas di Blok M untuk dinikmati sekaligus dijual secara online. Di saat itulah saya memulai sebuah bisnis penjualan kaset dan
merchandise band yang saya beri nama Pills Jakarta (sekarang sudah bangkrut). Namun di tahun 2016 pula, Alhamdulillah, Toilet Surfers mulai mendapatkan panggung dan memasuki dapur rekaman, sehingga prioritasnya pun lagi-lagi tergeser, oleh pembelian sebuah gitar elektrik Fender Stratocaster dan sebuah pedal efek distorsi Boss DS-1 dari hasil keuntungan Pills Jakarta.
Pasca perilisan single perdana Toilet Surfers yang berjudul
Sick Weirdo pada Agustus 2016
, saya kembali dapat menabung dan memantapkan hati bahwa 2017 harus menjadi tahun di mana setidaknya sebuah
turntable dan beberapa
vinyl harus sudah berada di kamar saya. Kebetulan kakek saya merupakan seorang kolektor
vinyl dan memiliki beberapa
turntable. Sebelumnya saya belum pernah mengutarakan keinginan saya untuk menjadi penikmat musik dengan format analog. Namun ketika itu saya mulai berkonsultasi kepada beliau dengan meminta saran dan rekomendasi sebagai referensi pembelian
turntable dan
vinyl di masa mendatang.
Beberapa kali beliau mengajak saya untuk melihat-lihat
vinyl di Blok M, namun saya selalu tidak sempat akibat kesibukan kuliah dan mengurus band. Sesekalinya saya memiliki waktu luang untuk ke Blok M, kakek saya sedang ada pekerjaan di luar kota. Maka saya pergi sendiri dan menemukan sebuah
belt-drive turntable bermerk Audio-Technica seri AT-LP60 yang rencananya akan saya beli ketika tabungan sudah mencukupi.
Pada 12 Februari 2017, tanpa disangka, kakek saya membelikan sebuah
portable turntable bermerk Crosley seri Cruiser II dengan
built-in speaker sehingga dapat langsung dinikmati tanpa harus membeli
speaker aktif tambahan (walaupun sangat direkomendasikan). Beliau pun membelikan sebuah
vinyl album Pinkerton dari salah satu band favorit saya sepanjang masa, Weezer. Jujur, mendengar kabar itu saya menjadi girang setengah mati.
Saya bergegas menuju sebuah toko bernama PHR (Piringan Hitam Records) di STC Senayan untuk mengambil barang yang telah dibelikan oleh kakek saya. Di toko itu pula saya bertemu dengan salah seorang paman saya yang ternyata juga merupakan seorang kolektor
vinyl. Beliau berkata bahwa suatu saat ia akan memberikan sebagian koleksi
vinyl-nya kepada saya. Kegirangan saya berlipat ganda. Secara kompulsif, saya hilang kendali dan hampir menguras seluruh tabungan saya untuk membeli dua buah
vinyl tambahan yaitu album
self-titled dari Misfits dan
Enema of The State dari Blink-182. Keduanya saya beli dalam kondisi baru sehingga harganya cukup membuat saya kembali hidup ekstra hemat.
Sampai di rumah,
vinyl Enema of The State dari Blink-182 lah yang pertama kali saya putar. Dan ketika
track pertama
"Dumpweed" mulai bergema, saya tergetar secara emosional oleh suara organik yang dihasilkan, yang berhasil memberikan saya pengalaman 'simulasi' menyaksikan Blink-182 secara langsung, yang selama ini belum pernah terwujud. Begitupula dengan album
Pinkerton dari Weezer dan
self-titled-nya Misfits yang menjadikan malam itu terasa seakan saya sedang berkomunikasi secara emosional dengan Tom DeLonge, Rivers Cuomo, Jerry Only, dan para personil lainnya dari Blink-182, Weezer, dan Misfits.
Walaupun saya merasa puas, namun akibat hanya mengandalkan
built-in speaker dari Crosley Cruiser II,
gain yang dihasilkan kurang maksimal. Saya mulai
browsing berbagai situs jual-beli
online untuk mengetahui kisaran harga
speaker aktif dan ternyata rata-rata semuanya di atas Rp. 1.000.000. Saya cukup merasa frustrasi, mengingat sisa tabungan saya cukup tipis. Namun setelah memikirkan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk membeli sebuah
multimedia speaker bermerk Microlab seri B56 seharga Rp. 175.000 rupiah dan sebuah kabel AUX - RCA agar dapat disambungkan ke
turntable.
|
Cranked-up by Microlab B56 |
Alhamdulillah hasilnya tidak mengecewakan. Microlab B56 cukup berhasil meng-
crank up gain yang dihasilkan oleh Crosley Cruiser II. Akibatnya beberapa hari belakangan ini, saya jarang sekali meninggalkan kamar. Setiap ada waktu luang selalu saya gunakan untuk memutar
vinyl-vinyl tersebut. Terkadang saya bermain gitar dan bernyanyi mengiringi alunan gelombang analog. Bahkan ironisnya, karena terlalu sering diputar dan kurang hati-hati, terdapat
skip atau loncatan selama sepersekian detik di lagu
"Dumpweed" dan
"Aliens Exist" pada
vinyl Enema of The State. Namun saya tidak terlalu ambil pusing karena saya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari seni menikmati dan mengoleksi
vinyl.
Kini saya mulai menjalankan hidup ekstra hemat agar dapat menabung lagi dengan target menambah enam buah
vinyl yang setidaknya, mudah-mudahan, dapat saya beli satu per satu setiap bulan, yaitu album Slipknot -
Iowa, Black Flag
- Damaged, Minor Threat -
Out of Step, Beastie Boys -
Check Your Head, Alkaline Trio -
From Here to Infirmary, dan Blur -
self-titled. Mudah-mudahan saja jarum dan
cartridge yang saya miliki bertahan lama sehingga saya tidak perlu menggantinya dalam waktu dekat.
Memang dibutuhkan kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan dalam menjalankan sebuah hobi, terutama
vinyling. Namun saya percaya bahwa semua itu berbanding lurus dengan kepuasan dan kebahagiaan jiwa yang didapatkan.