Sudah berapa kali anda menjumpai kalimat "manusia adalah makhluk sosial"?
Di buku, di televisi, di sekolah, di rumah, ucapan guru, dosen, orang tua, hampir di semua lingkungan anda menjumpai kalimat tersebut. "Manusia tidak bisa hidup tanpa sesama, manusia butuh bersosialisasi, manusia tidak bisa hidup sendiri, bla.. bla.. bla.."
Saya setuju dengan itu. Sangat setuju. Bukan hanya secara fisik dimana manusia membutuhkan sesamanya untuk bekerjasama, baik dalam memenuhi kebutuhan biologis maupun kebutuhan material. Namun juga secara psikologis, manusia membutuhkan proses sosialisasi untuk memenuhi kebutuhan emosional, kebutuhan akan the warmth of human companion yang pada akhirnya dapat digunakan pula sebagai sarana pemenuhan kebutuhan biologis dan material.
Dari sekedar teman mengobrol, menjadi fuck buddy, atau dari sekedar teman mengobrol, menjadi rekan bisnis, misalnya. Dalam hal ini, kebutuhan biologis dan psikologis saling terkait dimana proses sosialisasi menjadi hal yang menjembatani kedua aspek tersebut. Dengan sosialisasi, satu aspek dapat mengacu pada aspek lainnya, begitu pula sebaliknya. Mungkin karena itulah proses sosialisasi menjadi suatu hal yang 'vital' dalam kehidupan manusia.
Namun segalanya memiliki konsekuensi. Resiko. Kita harus berhadapan dengan berbagai individu yang beragam, dengan latar belakang yang berbeda-beda, dan dengan karakteristik yang berbeda pula. Sesuatu yang menyenangkan? Anda pasti mengangguk. Who doesn't like social life? Who doesn't like to hang out? Namun pernahkah anda menyadari bahwa manusia-manusia disekeliling anda tidak se-menyenangkan yang anda bayangkan? Bahwa mereka adalah individu-individu yang (secara eksplisit maupun tidak) egoistis, iri hati dan hipokritis?
Saya tidak sedang mencuci otak anda. Saya pun bukan seorang anti sosial. Saya memiliki kemampuan sosial yang cukup baik, walaupun bukan tipikal orang yang senang bergaul. Saya hanya menyampaikan apa yang saya lihat, dengar, dan rasakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman sosial saya di berbagai lingkungan. Dan berdasarkan pengamatan tersebut, menurut saya tiga kata sifat cukup mampu merepresentasikan karakteristik mental mereka; egoistis, iri hati, dan hipokritis.
Sama sekali tidak menggeneralisir, namun dua hal tersebut yang selalu dominan dari individu-individu di sekitar saya. Saudara, sepupu, teman, kolega, kerabat, rekan, siapapun itu, saya selalu menemukan tiga hal tersebut di dalam diri mereka. Baik secara langsung pada awal perkenalan, maupun secara perlahan-perlahan, tiga hal tersebut selalu saja muncul.
Sehingga di mata saya, mereka hanya menjadi makhluk biologis liar yang dikendalikan oleh hukum, nilai, dan norma sosial, dimana mereka selalu mencoba untuk menuhankan diri mereka dengan pola pikir bahwa kesempurnaan dan kebenaran absolut hanya berada di genggaman mereka. Mereka berkompetisi untuk itu. Mereka saling menjatuhkan dengan berkedok senyuman dan fun yang mereka tampilkan dalam proses sosialisasi.
Bahkan beberapa di antara mereka gembar-gembor bahwa mereka adalah sosialis sejati. Mereka melawan kapitalisme dengan mengadaptasi konsep kapitalisme itu sendiri ke dalam kehidupan sosial; memperoleh keuntungan berupa jati diri dan kehormatan dengan bermodalkan mulut besar berbobot minim. Mereka hanya haus akan kehormatan, bukan ingin menciptakan perubahan.
Dan ketika seseorang berhasil memperoleh suatu hal yang baik di dalam hidupnya, mereka terbakar amarah. Mereka kesal, secara implisit tentunya. Mereka berusaha keras untuk menarik orang tersebut ke bawah menuju penderitaan, lalu menari di atasnya. Apakah saya su'udzon? Berprasangka buruk? Saya rasa tidak. Saya menyaksikan hal-hal tersebut di berbagai lingkungan; keluarga, pergaulan, sekolah, kampus, tempat kerja, dan lain sebagainya.
Saya menyaksikan bagaimana mereka berkata "Gue lebih pinter dari lo semua!", "Lo salah! Gue yang bener!" dengan gestur tangan yang menunjuk-nunjuk. Saya menyaksikan bagaimana mereka menyampaikan argumen dengan panjang lebar lalu merendahkan argumen sesamanya. Saya menyaksikan bagaimana perubahan sikap mereka, bagaimana jiwa kerdil mereka berubah menjadi depresi ketika hal baik terjadi dalam hidup orang lain. Saya menyaksikan bagaimana mereka bercanda-tawa dengan seseorang ketika berjumpa lalu mencaci-maki orang tersebut dibelakangnya.
Ini baru di tahap dimana saya sebagai seorang mahasiswa, pekerja paruh waktu, dan seorang anak dalam keluarga. Belum lagi di tahap-tahap selanjutnya seperti di lingkungan profesional, lingkungan rumah tangga, lingkungan bisnis, dan di lingkungan-lingkungan sosial lainnya yang jauh lebih kompleks. Mungkin saya akan mengalami hal yang sama, atau bahkan lebih parah walaupun saya berharap akan suatu perubahan.
Yang saya khawatirkan adalah bagaimana jika di masa depan, nasib negeri ini jatuh ke tangan orang-orang seperti itu? Apakah Indonesia saat ini adalah hasil dari mental dan perilaku para pemimpinnya yang seperti itu?
Kita membutuhkan suatu revolusi. Atau yang sempat populer beberapa tahun lalu, revolusi mental. Namun kenyataannya, kita belum merasakan adanya perubahan dari revolusi mental yang digembar-gemborkan tersebut. Kasus KKN, narkoba, kriminalitas semakin membabi-buta. Mental dan moral bangsa Indonesia semakin membusuk. Apakah revolusi mental sudah berhasil?
Saya rasa ada yang salah dengan konsep dan implementasi dari revolusi mental ini. Atau setidaknya kurang lengkap. Hukum tetap bersifat tumpul ke atas dan tajam ke bawah. HAM masih menjadi komoditi belas kasihan bagi individu-individu yang tidak layak hidup.
Kita butuh revolusi. Revolusi mental dengan laras bedil.