Tugas Komunikasi Sosial dan Pembangunan
Oleh :
M. Nur Islam R. Sungkar (2014 - 41 - 084)
Kelas : B
Dosen:
Ibu Dwi Ajeng Widarini S.Sos. M.Si
Per tanggal 21 Februari 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar dengan harga Rp. 200/plastik pada seluruh toko ritel modern di 22 kota besar se-Indonesia. Kebijakan ini merupakan suatu upaya untuk mengurangi kerusakan lingkungan akibat sampah plastik yang berlebihan, meskipun menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) Eddy Ganefo, kebijakan ini merupakan suatu 'permainan' mafia konglomerat dengan tujuan komersial.
Dalam hal ini menurut saya, media massa sebagai suatu alat sosialisasi pemerintah, kurang optimal dalam memfokuskan masyarakat kepada kebijakan tersebut. Sosialisasi mengenai kebijakan ini melalui media massa, bertepatan dengan maraknya dua isu hangat di masyarakat yaitu isu penggusuran prostitusi di Kalijodo dan isu LGBT beserta penangkapan Saipul Jamil terkait pelecehan seksual.
Saya melihat bahwa media massa memandang sosialisasi kebijakan tersebut sebagai suatu isu yang memiliki nilai berita yang lemah dibandingkan dengan isu-isu seputar politik, sosial, dan selebriti. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya efektifitas dari kebijakan itu sendiri, karena saya rasa masyarakat lebih rela mengeluarkan Rp. 200 untuk sebuah plastik dibandingkan dengan membawa kantong sendiri dari rumah ataupun membawa belanjaan tanpa menggunakan plastik.
Saya sendiri pertama kali mengetahui informasi ini yaitu dari seorang pramuniaga Alfamart pada tanggal 20 Februari 2016, satu hari sebelum penerapan kebijakan tersebut. Baru setelah beberapa hari, berita mengenai kebijakan itu mulai beredar di media online. Hal ini menggambarkan betapa tidak optimalnya media massa sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam mensosialisasikan kebijakan-kebijakannya. Bahkan beberapa media online seperti tribunnews.com dan suara.com lebih menonjolkan pendapat para selebriti seperti Andien dan Gracia Indri, daripada pendapat masyarakat.
Menurut teori agenda setting, media massa memiliki kapabilitas dalam menentukan mana isu yang penting dan mana yang tidak penting. Dan menurut saya nilai berita menjadi paramater dalam hal ini, tanpa memperdulikan apakah isu tersebut bermanfaat atau tidak bagi masyarakat dan juga pemerintah. Sebagai contoh, pemberitaan pendapat para selebriti mengenai kebijakan tersebut. Memang betul adanya bahwa selebriti sebagai tokoh masyarakat dan penggiring opini (opinion leaders) menjadi salah satu elemen pendorong bagi sosialisasi kebijakan itu, sesuai dengan teori 2 step flow, dan juga menjadikan berita tersebut memiliki nilai berita yang tinggi. Namun hal itu justru cenderung menimbulkan dominasi kaum selebriti dalam isu yang seharusnya berorientasi pada masyarakat luas dan pemerintah. Dengan gencarnya media massa dalam mengekspos angle tersebut, maka apa yang terjadi dalam masyarakat dan juga feedback masyarakat menjadi kekurangan publisitas.
Masyarakat menjadi tidak tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi di sekitarnya, dan juga pemerintah pun menjadi kesulitan dalam menerima input dari masyarakat. Maka menurut saya, alangkah baiknya jika media massa memberitakan suatu isu secara komprehensif dan proporsional dengan tidak selalu mengkaitkan suatu isu dengan selebriti. Dengan demikian, saya harap pemerintah akan lebih sukses dalam menyuarakan pembangunan dan masyarakat pun akan dapat menikmati hasilnya dengan maksimal.
No comments:
Post a Comment