Dalam ilmu filsafat terdapat berbagai mazhab. Pragmatisme adalah salah satunya. Secara definitif, pragmatisme dapat diartikan sebagai sebuah ide yang menerima segala sesuatu asalkan hal tersebut bermanfaat secara praktis.
Para pragmatis ini menyingkirkan paramater-parameter logika, etika, maupun estetika. Selama suatu hal dapat dimanfaatkan, maka mereka akan mengusung hal tersebut walaupun kadangkala tidak logis, tidak etis, dan tidak estetis.
Sedangkan tren adalah suatu fenomena kultural yang digeluti oleh masyarakat secara masif dan simultan.
Saat ini, Indonesia dan dunia sedang dipenuhi oleh para pragmatis yang berkeliaran di berbagai medium; media sosial, media massa, masyarakat secara umum, industri, hingga politik. Jika diperhatikan mereka adalah orang yang dinamis. Mereka berubah-ubah dan selalu siap menerima perubahan. Walaupun perubahan tersebut bersifat regresif jika ditinjau dari perspektif estetika.
Contoh yang berada dalam lingkungan saya adalah orang-orang yang pragmatis terhadap tren. Mereka diperbudak oleh elit media global dan nasional yang memiliki pengaruh besar terhadap pembentukan suatu tren. Ketika suatu media memberikan publisitas terhadap tren EDM, maka mereka akan menelan mentah-mentah, tak perduli jika misalnya EDM tidak sesuai dengan standar estetika yang mereka miliki sebelumnya.
Di era dimana musik metal (yang bagi saya lebih estetis dari EDM dalam segi apapun) mendapat publisitas tinggi dari media mainstream, mereka melabeli diri sebagai seorang metalhead sejati. Namun ketika publisitas tersebut dioper kepada EDM, mereka akan mengubah label dirinya menjadi seorang 'anak dugem sejati'. Tak heran saat ini banyak sekali metalheads yang banting setir menjadi DJ. Sebuah perubahan yang progresif? Menurut saya tidak.
Selama tren tersebut dapat memberikan manfaat praktis berupa penerimaan sosial, keuntungan finansial, dan lain sebagainya, maka mereka akan meresapi tren itu hingga pada akhirnya akan digantinkan dengan tren lainnya. Fuckin posers.
Ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh fenomena yang sedang terjadi pada masyarakat saat ini. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai pembuktian terhadap teori jarum hipodermik yang berasumsi bahwa media massa sebagai suatu pihak yang memiliki kuasa terhadap khalayaknya. Teori ini menganalogikan bahwa khalayak yang bersifat pasif akan pasrah dan rela 'disuntik' oleh media massa yang bersifat perkasa. Dalam hal ini, kandungan yang dimuat oleh suntikan tersebut adalah tren EDM, dan para pragmatis tersebut adalah pihak yang dipecundangi oleh media massa. Relevan bukan?
Selera musik adalah suatu preferensi yang bersifat personal. Walaupun bagi saya EDM adalah musik yang banal dan tidak estetis, mungkin bagi orang lain sebaliknya. Namun pertanyaannya adalah, apakah EDM memerlukan kemampuan musikal yang tinggi? Pop adalah musik yang tidak terlalu membutuhkan kemampuan musikal yang tinggi. Namun setidaknya mereka mampu memainkan instrumen musik secara harfiah. Bukan instrumen digital yang hanya klik ini-itu dan menyebut dirinya seorang DJ.
Pada umumnya, lirik dalam EDM didominasi oleh nilai-nilai hedonisme, konsumerisme, dan materialisme. Mereka hanya bicara soal having fun, foya-foya, clubbing, bermewah-mewahan, seks, uang, uang, dan uang. Dan semua itu dikemas secara banal dan tidak puitis dengan pemilihan kata dan diksi yang sederhana.
Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa EDM dapat menjadi suatu distraksi bagi masyarakat terhadap fenomena-fenomena sosial dan politik yang penting untuk diketahui dan dikritisi oleh masyarakat. Dengan kata lain, EDM dapat meningkatkan apatisme masyarakat.
Saya tidak sedang mencuci otak anda, saya hanya mengamati dan mengutarakan persepsi saya terhadap kondisi masyarakat saat ini, terutama masyarakat urban yang tanpa disadari setiap harinya dibombardir oleh propaganda media yang memberitahukan mereka untuk terus membeli dan menikmati tanpa perduli sedikit pun akan apa yang sebenernya sedang terjadi.
Namun apa daya? Pada akhirnya orang-orang seperti saya hanya akan mereka cap sebagai a sick fuckin weirdo; orang aneh, eksentrik, non-konformis, ketinggalan zaman dan tidak pernah perduli terhadap apa yang orang lain katakan.
Tuesday, September 27, 2016
Sunday, September 11, 2016
Hijrah dari Jakarta?
Jakarta. Saya lahir dan besar di ibukota yang berdiri pada 1527 ini. Born and bred. Sebuah kota yang diagungkan oleh seperempat milyar jiwa penduduk Indonesia, sebuah kota dengan segala prospek-prospek impiannya. Dari mulut ke mulut, dari media ke masyarakat nasional, segalanya mencakup gambaran tentang mimpi-mimpi gemerlap yang dijanjikan oleh kota ini.
Ide tersebut diwariskan dari generasi ke generasi oleh masyarakat di luar Jakarta. Para orang tua dan guru menanamkan gagasan bahwa kesuksesan adalah dimana pada suatu hari anak-anak mereka akan merantau ke Jakarta, mendapatkan pekerjaan, syukur-syukur menjadi selebriti, menikmati dinamika kehidupan ibukota, dan menjadi masyarakat urban seutuhnya.
Selebriti menjadi subjek utama dalam setiap pemberitaan oleh media pada umumnya. Dengan modal keunggulan fisik yang artifisial, selera humor sampah, dan inteligensi yang nyaris nihil, selebriti menjadi idola, role model sekaligus tokoh masyarakat bagi ratusan juta penduduk Indonesia. Di tambah lagi dengan apa yang mereka lihat di TV, internet, radio, koran, majalah, dan berbagai media lain yang 'Jakarta sentris', dengan segala exposure yang berfokus pada topik-topik yang memuat nilai-nilai hedonisme, konsumerisme, dan materialisme.
Jakarta menjadi magnet sosial. Uang, seks, dan kenikmatan duniawi menjadi konsep dan tujuan utama yang tertanam dalam benak dan pikiran masyarakat. Semua orang ingin pergi ke Jakarta, tinggal di Jakarta, atau menetap di Jakarta hingga akhir hayat. Dan pada akhirnya semua orang berjejal di ibukota, bersama dengan berbagai pusat perbelanjaan dan gedung-gedung perkantoran yang berjejal pula. Kecintaan dan loyalitas masyarakat Indonesia pada Jakarta ini sungguh luar biasa, hingga membuat pemerintah dan segelintir kalangan masyarakat kritis pusing memutar otak untuk menangani kota ini.
Namun dalam realitas, apakah Jakarta seindah itu? Bagaimana dengan kemacetan intens yang tidak pernah terhenti? Bagaimana dengan banjir yang tidak dapat dihindarkan? Bagaimana dengan segala macam polusi yang semakin memburuk? Bagaimana dengan 'polusi sosial'? Kriminal dan hipokrit yang berkeliaran di antara kita. Kriminal dan hipokrit yang menguasai dan mengendalikan kehidupan kita.
Bagi saya, Jakarta bukan lagi kota impian. Jakarta telah berubah menjadi sarana menuju kondisi mental dan fisik yang tidak sehat, dengan suatu norma sosial yang tidak tertulis yang mengajarkan kita bahwa definisi kesuksesan adalah dengan mengikuti pola kehidupan yang selalu sama: menjadi penduduk Jakarta, lulus kuliah dan menjadi budak kapitalis yang selalu bermacet-macetan, bekerja senin hingga jumat pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore, mengunjungi mall di akhir pekan, menikah, berkeluarga, dan akhirnya mati bersama dengan passion dan mimpi-mimpi yang terbunuh oleh keperkasaan kapitalisme.
Apakah itu yang disebut dengan kesuksesan? Apakah itu yang disebut dengan kehidupan normal? Di mata saya, kehidupan seperti itu adalah sesuatu yang konyol. A big fuckin joke. Bagi saya hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan hanya untuk berusaha menjadi orang yang diinginkan masyarakat. Terlebih jika masyarakat itu sendiri dibentuk dan dikendalikan oleh elit politik yang senantiasa haus akan uang dan kekuasaan.
Panggil saya seorang anarkis, panggil saya seorang non-konformis, eksentrik, aneh, atau apapun itu. Namun yang jelas saya akan lebih bahagia dengan menjadi seorang pemilik kedai kopi kecil di sebuah kota terpencil, daripada menjadi seorang eksekutif urban dengan kehidupan dan jiwa yang dikendalikan.
Ide tersebut diwariskan dari generasi ke generasi oleh masyarakat di luar Jakarta. Para orang tua dan guru menanamkan gagasan bahwa kesuksesan adalah dimana pada suatu hari anak-anak mereka akan merantau ke Jakarta, mendapatkan pekerjaan, syukur-syukur menjadi selebriti, menikmati dinamika kehidupan ibukota, dan menjadi masyarakat urban seutuhnya.
Selebriti menjadi subjek utama dalam setiap pemberitaan oleh media pada umumnya. Dengan modal keunggulan fisik yang artifisial, selera humor sampah, dan inteligensi yang nyaris nihil, selebriti menjadi idola, role model sekaligus tokoh masyarakat bagi ratusan juta penduduk Indonesia. Di tambah lagi dengan apa yang mereka lihat di TV, internet, radio, koran, majalah, dan berbagai media lain yang 'Jakarta sentris', dengan segala exposure yang berfokus pada topik-topik yang memuat nilai-nilai hedonisme, konsumerisme, dan materialisme.
Jakarta menjadi magnet sosial. Uang, seks, dan kenikmatan duniawi menjadi konsep dan tujuan utama yang tertanam dalam benak dan pikiran masyarakat. Semua orang ingin pergi ke Jakarta, tinggal di Jakarta, atau menetap di Jakarta hingga akhir hayat. Dan pada akhirnya semua orang berjejal di ibukota, bersama dengan berbagai pusat perbelanjaan dan gedung-gedung perkantoran yang berjejal pula. Kecintaan dan loyalitas masyarakat Indonesia pada Jakarta ini sungguh luar biasa, hingga membuat pemerintah dan segelintir kalangan masyarakat kritis pusing memutar otak untuk menangani kota ini.
Namun dalam realitas, apakah Jakarta seindah itu? Bagaimana dengan kemacetan intens yang tidak pernah terhenti? Bagaimana dengan banjir yang tidak dapat dihindarkan? Bagaimana dengan segala macam polusi yang semakin memburuk? Bagaimana dengan 'polusi sosial'? Kriminal dan hipokrit yang berkeliaran di antara kita. Kriminal dan hipokrit yang menguasai dan mengendalikan kehidupan kita.
Bagi saya, Jakarta bukan lagi kota impian. Jakarta telah berubah menjadi sarana menuju kondisi mental dan fisik yang tidak sehat, dengan suatu norma sosial yang tidak tertulis yang mengajarkan kita bahwa definisi kesuksesan adalah dengan mengikuti pola kehidupan yang selalu sama: menjadi penduduk Jakarta, lulus kuliah dan menjadi budak kapitalis yang selalu bermacet-macetan, bekerja senin hingga jumat pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore, mengunjungi mall di akhir pekan, menikah, berkeluarga, dan akhirnya mati bersama dengan passion dan mimpi-mimpi yang terbunuh oleh keperkasaan kapitalisme.
Apakah itu yang disebut dengan kesuksesan? Apakah itu yang disebut dengan kehidupan normal? Di mata saya, kehidupan seperti itu adalah sesuatu yang konyol. A big fuckin joke. Bagi saya hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan hanya untuk berusaha menjadi orang yang diinginkan masyarakat. Terlebih jika masyarakat itu sendiri dibentuk dan dikendalikan oleh elit politik yang senantiasa haus akan uang dan kekuasaan.
Panggil saya seorang anarkis, panggil saya seorang non-konformis, eksentrik, aneh, atau apapun itu. Namun yang jelas saya akan lebih bahagia dengan menjadi seorang pemilik kedai kopi kecil di sebuah kota terpencil, daripada menjadi seorang eksekutif urban dengan kehidupan dan jiwa yang dikendalikan.
Subscribe to:
Posts (Atom)