Jakarta. Saya lahir dan besar di ibukota yang berdiri pada 1527 ini. Born and bred. Sebuah kota yang diagungkan oleh seperempat milyar jiwa penduduk Indonesia, sebuah kota dengan segala prospek-prospek impiannya. Dari mulut ke mulut, dari media ke masyarakat nasional, segalanya mencakup gambaran tentang mimpi-mimpi gemerlap yang dijanjikan oleh kota ini.
Ide tersebut diwariskan dari generasi ke generasi oleh masyarakat di luar Jakarta. Para orang tua dan guru menanamkan gagasan bahwa kesuksesan adalah dimana pada suatu hari anak-anak mereka akan merantau ke Jakarta, mendapatkan pekerjaan, syukur-syukur menjadi selebriti, menikmati dinamika kehidupan ibukota, dan menjadi masyarakat urban seutuhnya.
Selebriti menjadi
subjek utama dalam setiap pemberitaan oleh media pada umumnya. Dengan modal keunggulan fisik yang artifisial, selera humor sampah, dan inteligensi yang nyaris nihil, selebriti menjadi idola, role model sekaligus tokoh masyarakat bagi ratusan juta penduduk Indonesia. Di tambah lagi dengan apa yang mereka lihat di TV, internet, radio, koran, majalah, dan berbagai media lain yang 'Jakarta sentris', dengan segala exposure yang berfokus pada topik-topik yang memuat nilai-nilai hedonisme, konsumerisme, dan materialisme.
Jakarta menjadi magnet sosial. Uang, seks, dan kenikmatan duniawi menjadi konsep dan tujuan utama yang tertanam dalam benak dan pikiran masyarakat. Semua orang ingin pergi ke Jakarta, tinggal di Jakarta, atau menetap di Jakarta hingga akhir hayat. Dan pada akhirnya semua orang berjejal di ibukota, bersama dengan berbagai pusat perbelanjaan dan gedung-gedung perkantoran yang berjejal pula. Kecintaan dan loyalitas masyarakat Indonesia pada Jakarta ini sungguh luar biasa, hingga membuat pemerintah dan segelintir kalangan masyarakat kritis pusing memutar otak untuk menangani kota ini.
Namun dalam realitas, apakah Jakarta seindah itu? Bagaimana dengan kemacetan intens yang tidak pernah terhenti? Bagaimana dengan banjir yang tidak dapat dihindarkan? Bagaimana dengan segala macam polusi yang semakin memburuk? Bagaimana dengan 'polusi sosial'? Kriminal dan hipokrit yang berkeliaran di antara kita. Kriminal dan hipokrit yang menguasai dan mengendalikan kehidupan kita.
Bagi saya, Jakarta bukan lagi kota impian. Jakarta telah berubah menjadi sarana menuju kondisi mental dan fisik yang tidak sehat, dengan suatu norma sosial yang tidak tertulis yang mengajarkan kita bahwa definisi kesuksesan adalah dengan mengikuti pola kehidupan yang selalu sama: menjadi penduduk Jakarta, lulus kuliah dan menjadi budak kapitalis yang selalu bermacet-macetan, bekerja senin hingga jumat pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore, mengunjungi mall di akhir pekan, menikah, berkeluarga, dan akhirnya mati bersama dengan passion dan mimpi-mimpi yang terbunuh oleh keperkasaan kapitalisme.
Apakah itu yang disebut dengan kesuksesan? Apakah itu yang disebut dengan kehidupan normal? Di mata saya, kehidupan seperti itu adalah sesuatu yang konyol. A big fuckin joke. Bagi saya hidup ini terlalu singkat jika dihabiskan hanya untuk berusaha menjadi orang yang diinginkan masyarakat. Terlebih jika masyarakat itu sendiri dibentuk dan dikendalikan oleh elit politik yang senantiasa haus akan uang dan kekuasaan.
Panggil saya seorang anarkis, panggil saya seorang non-konformis, eksentrik, aneh, atau apapun itu. Namun yang jelas saya akan lebih bahagia dengan menjadi seorang pemilik kedai kopi kecil di sebuah kota terpencil, daripada menjadi seorang eksekutif urban dengan kehidupan dan jiwa yang dikendalikan.
No comments:
Post a Comment