Anggi Ginara (23 Februari 1998 - 11 Januari 2017) |
Januari 2017 adalah awal tahun yang tergelap dalam hidup saya. Saya percaya dengan takdir, namun tahun ini diawali dengan tragedi-tragedi yang bagi saya, secara psikologis, berdampak cukup destruktif.
Baru saja mencapai hari kesebelas, 2017 sudah mengguncang mental saya dengan sebuah kabar menyedihkan. Di tengah tekanan dalam menghadapi UAS, ketika baru saja menginjakkan kaki di rumah, saya mendapatkan sebuah pesan LINE dari seorang kawan satu band saya di era SMA yang bernama Tedy. Sebuah kalimat singkat yang terdiri dari tiga buah kata:
Sebuah kalimat yang hingga detik ini masih kerap terlintas di benak saya menjelang tidur. Saya sempat terdiam sejenak, berusaha untuk mencerna pesan yang baru saja menerpa saya. Anggi Ginara, seorang kawan satu band saya di Blessed of Curse sejak 2012 yang telah berbagi lika-liku pengalaman manis dan pahitnya berjuang untuk sebuah band, telah meninggal dunia di hari itu akibat kecelakaan motor. Akibat shock, saya sempat bertanya-tanya apakah ini benar-benar sedang terjadi, atau hanya sebuah mimpi buruk di sore hari.
Menurut kabar yang disampaikan Tedy, Anggi sedang terburu-buru untuk menghadiri UAS dan mengalami kecelakaan tunggal di kawasan Lenteng Agung, hanya beberapa meter lagi untuk dapat tiba di kampusnya Universitas Pancasila. Saya membuka profil Instagram almarhum dan mengecek tag-tag fotonya. Empat atau lima tag foto terakhir merupakan kabar duka atas kematiannya. Di saat yang bersamaan, sebuah DM masuk ke akun Instagram saya yang berasal dari Aldo, yang juga merupakan anggota dari Blessed of Curse.
Sebuah kalimat yang sama seperti yang dikirimkan oleh Tedy via LINE. Beberapa detik kemudian, kawan saya Agatha mem-post foto memorial dengan sebagian caption yang bertuliskan "R.I.P Anggi Ginara". Dengan dua buah kabar buruk dan cross-check singkat melalui Instagram, saya telah cukup yakin bahwa ini benar-benar sedang terjadi. Saya menyampaikan kabar duka tersebut kepada Bagus, seorang kawan di band saya yang lain (Hatred) yang juga merupakan kawan almarhum yang sama-sama terlibat dalam dinamika perkembangan scene musik bawah tanah di Cileungsi. Dan Bagus memiliki reaksi yang serupa; terkejut, sedih, dan setengah tidak percaya.
Saya bergegas mengenakan baju koko dan celana jins untuk segera menuju rumah duka dan ketika itu hujan lebat sedang mengguyur. Waktu menunjukkan hampir pukul 6 sore dan Tedy belum mengetahui informasi terkait kapan dan di mana almarhum akan dimakamkan. Namun kemudian diketahui bahwa pemakamannya akan diadakan keesokan paginya di TPU Tlajung Udik, Bogor.
Sebuah pertimbangan muncul di benak saya bahwa apabila pada malam itu saya berangkat dari Pondok Kopi menuju rumah duka di Cileungsi, maka kemungkinannya adalah saya tidak dapat menghadiri pemakaman keesokan paginya. Dan saya bersikeras untuk dapat menghadiri pemakaman tersebut. Mengingat pukul 7 pagi saya masih harus menjalankan UAS, maka di malam itu tak ada yang bisa saya lakukan kecuali merencanakan perjalanan untuk esok hari dari kampus saya di Senayan menuju TPU Tlajung Udik, dan berdoa yang terbaik untuk almarhum.
Malam itu tidak berjalan seperti biasanya. Seisi kepala saya dipenuhi oleh kenyataan bahwa Anggi telah meninggal dunia di usianya yang belum mencapai 19 tahun. Saya mencolokkan earphone di ponsel saya dan memutar sebuah lagu yang kami rilis empat tahun lalu:
Ketika lagu tersebut berkumandang di kedua telinga saya, dampak emosional yang diberikan membuat saya tak kuasa menahan kesedihan dan duka mendalam, serta berhasil menghidupkan serangkaian memori-memori yang pernah kami alami selama bertahun-tahun.
Di malam itu pula, saya kehilangan sebagian besar fokus hingga saya cukup sulit untuk diajak bicara dan memahami apa yang sedang dikatakan oleh orang-orang sekitar. Saya tidak perduli lagi dengan belajar untuk mempersiapkan UAS di esok hari. Saya mematikan ponsel dan mengurung diri di kamar, berusaha untuk memulihkan jiwa dari 'hantaman keras' yang saya dapatkan beberapa jam lalu. Jika biasanya saya adalah orang yang mudah tertidur, malam itu sungguh berbeda. Saya hanya berbaring dan menatap plafon dengan kesadaran penuh dan pikiran yang mengawang-awang.
***
Pada pukul 8:30 pagi saya menyerahkan kertas ujian kepada dosen pengawas dan bergegas menuju halte di depan Ratu Plaza. Tedy memberikan kabar bahwa ketika itu jenazah almarhum sedang akan disolatkan dan akan dimakamkan pukul 10:00. Saya hanya berharap Tuhan mengizinkan saya dengan melancarkan perjalanan agar dapat menghadiri pemakaman dan memberikan penghormatan terakhir untuk almarhum. Tak selang beberapa menit, bus APTB jurusan Blok M - Cileungsi melintas dan saya menaikinya.
Ajaibnya, meskipun sama sekali tanpa tidur di malam hari, saya tidak merasakan kantuk, melainkan hanya lemas dan mental yang tertekan akibat lamunan tanpa henti. Di dalam bus saya tidak dapat mengendalikan diri dari mencari informasi mengenai tragedi yang terjadi kurang dari 24 jam lalu dan saya menemukan sebuah berita dari situs detik.com dengan judul Pengendara Motor Ninja Tewas Akibat Kecelakaan di Depan Stasiun UP.
Tak terasa, kurang dari 45 menit bus APTB yang saya tumpangi tiba di tujuan. Alhamdulillah, Tuhan menjadikan lalu-lintas di saat itu sangat bersahabat. Saya bertemu Bagus di perempatan Nagrak dan kami menuju TPU Tlajung Udik dengan jarak sekitar 8 kilometer. Di perjalanan saya bercakap-cakap dengan Bagus dan saya yakin ia sama terkejutnya dengan saya ketika mendengar kabar kematian Anggi. Pasalnya, sehari sebelum kematiannya, Anggi mengunjungi tempat kerja Bagus di McDonald's untuk membeli sarapan bersama sang ayah. Ia menjabat tangan Bagus dan berkata "Gue kangen suara lo, Gus." kepada Bagus yang notabene adalah seorang vokalis hardcore. Dan di luar ekspektasi siapapun, momen tersebut menjadi pertemuan terakhir di antara dua orang kawan.
Sekitar pukul 10:30 kami tiba di Tlajung Udik, sebuah tempat pemakaman umum di kaki perbukitan kawasan Citeureup, Bogor, Jawa Barat. Mobil jenazah sudah terparkir bersama dengan mobil-mobil pelayat. Gerbang pemakaman dipenuhi oleh berbagai macam karangan bunga dan ketika kami memasuki kompleks pemakaman, terlihat sekitar lebih dari seratus orang yang membludak dalam duka dengan tujuan melihat seorang Anggi Ardana Noor Islami Kosasih untuk yang terakhir kalinya.
Seiring dengan taburan bunga dan doa-doa yang berkumandang, pikiran saya mengawang kembali ke tahun 2012, tentang bagaimana saya dapat mengisi lima tahun terakhir dari hidup seorang Anggi Ginara. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMA, bersama dengan Bagus, Agatha (kawan di band hardcore saya, Hatred), dan Jerry yang ketika itu memiliki sebuah band deathcore bernama Blessed of Curse dengan teman-teman perumahannya di Pondok Damai, Cileungsi. Perbincangan kami di waktu istirahat adalah segala sesuatu tentang musik bawah tanah. Hingga suatu saat saya tertarik untuk memiliki sebuah band deathcore dan Jerry adalah satu-satunya siswa yang merupakan seorang vokalis yang tergabung dalam sebuah band deathcore. Maka saya mengajaknya untuk membentuk sebuah band baru, namun pada akhirnya justru saya direkrut sebagai drummer untuk bandnya Blessed of Curse.
Kami sepakat untuk berlatih pada suatu malam, setelah sesi latihan saya bersama Hatred di sebuah studio musik yang bernama PNF Studio. Di malam itu Jerry mengenalkan saya dengan rekan-rekan band yang lain; Aldo, Tedy, dan Anggi. Ketika itu kami semua masih berusia belasan tahun. Tedy 17 tahun, Jerry 16 tahun, saya dan Aldo 15 tahun, dan Anggi 14 tahun. Almarhum adalah yang termuda dan paling berbakat. Ia menguasai tiga jenis instrumen musik, yaitu bass, gitar, dan drum ketika masih duduk di bangku SMP.
Setelah beberapa kali berlatih, pada November 2012 kami melakukan sesi photoshoot perdana di kawasan perumahan Legenda Wisata, Cibubur.
(Kiri-kanan) Saya, Tedy, Jerry, Anggi, dan Aldo. |
Dua momen antara saya dengan almarhum yang sungguh pilu jika saya memikirkannya adalah ketika sesi rekaman lagu "Resah" dan di perjalanan pulang pasca manggung di Cibinong ketika saya diboncengi oleh almarhum. Di tahun 2013 kami merekam lagu tersebut dimulai dari sore hari hingga tengah malam. Sekitar pukul 7 malam, saya dan almarhum keluar untuk membeli suplai nasi goreng. Kami makan di sebuah tenda nasi goreng di pinggir jalan kawasan Cibinong dan membungkus tiga porsi untuk Jerry, Aldo, dan Tedy. Sambil menyantap nasi goreng di tempat itu, kami curhat mengenai permasalahan personal dan keluarga. Kami bertukar cerita dan berdiskusi secara mendalam terkait masalah-masalah tersebut. Saya merasa cukup beruntung untuk sempat menghabiskan waktu secara personal seperti itu dengan almarhum.
Yang kedua adalah di sore hari, ketika almarhum memboncengi saya dalam perjalanan pulang lengkap dengan dua tas berisi bass dan double pedal pasca manggung di Gedung KNPI Cibinong. Topik diskusi kami saat itu adalah mengenai masa depan dan berapa lama Blessed of Curse akan bertahan ketika kami semua sudah berkuliah dan bekerja. Ia menanyakan apa yang saya akan lakukan setelah lulus SMA. Saya berkata bahwa saya akan berkuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Ia pun berkata bahwa ia akan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, yang berarti ia akan menjadi junior ayah saya, karena ayah saya adalah alumni FHUP.
Kemudian ia bercerita mengenai berbagai cita-citanya, bahwa suatu hari ia akan menjadi seorang sarjana hukum dan mendapatkan sebuah pekerjaan yang mapan, bahwa ia akan mengendarai sebuah mobil ke kampusnya, bahwa ia akan menikah dan memiliki anak, dan lain sebagainya. Namun rupanya Tuhan memberikan takdir lain dan mengingat percakapan tersebut membuat saya sangat pilu hingga detik ini.
Singkat cerita, setelah lulus SMA di 2014, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Blessed of Curse dan dua band lainnya (Kraken dan Dead Ceremony) dikarenakan saya harus pindah ke rumah nenek saya agar lebih dekat menuju kampus saya di Hang Lekir, Senayan. Hatred pun mengalami hiatus. Saya hanya dapat pulang ke Cileungsi dengan frekuensi sebulan sekali dan sangat singkat akibat tugas perkuliahan yang cukup banyak.
Pada awal 2015, saya mengajak Anggi, Agatha, dan Bagus untuk membentuk sebuah band punk rock, namun kami hanya sekali bertemu untuk menggarap sebuah lagu di rumah Bagus dan proyek tersebut pun terkubur oleh kesibukan kami masing-masing. Ironisnya di awal 2015 tersebut merupakan terakhir kalinya saya bertemu dengan almarhum, dan dua tahun kemudian saya kembali bertemu dengannya, namun dengan situasi yang berbeda, yaitu menghadiri pemakamannya.
Beberapa minggu sebelum kematiannya, almarhum sempat mengirimkan saya sebuah pesan melalui kolom komentar di sebuah foto saya di Instagram:
Saya mengirim QR Code akun LINE saya kepadanya melalui DM, namun entah mengapa ia tak kunjung mengirimkan saya pesan melalui LINE hingga ia meninggal dunia beberapa minggu setelahnya.
Tak selang beberapa minggu setelah kematiannya, saya kembali mendapatkan kabar duka yang datang dari ayah dari pemain bass saya di Toilet Surfers, Fikra Putra, yang juga meninggal dunia. Januari 2017 benar-benar gelap bagi saya. Dua kabar duka dari orang-orang sekitar cukup membuat saya terguncang secara psikologis. Saya berdoa yang terbaik untuk mereka yang telah tiada, dan biarkan ini menjadi penempa mental saya untuk menghadapi hari-hari selanjutnya di kehidupan ini.
Hari ini, 23 Februari merupakan hari ulang tahun almarhum. Terasa ironis dan sangat menyedihkan ketika kita mengingat bahwa hari ini adalah hari kelahiran dari seseorang yang telah tiada. Namun Insya Allah saya yakin dan terus berdoa bahwa saat ini Anggi Ginara sedang berbahagia di sebuah tempat yang sangat indah, yang masih menjadi misteri bagi kita semua yang masih hidup.
Nggi, now your birthday might be ironic and mentally-painful to all of us, but we all are sure you've got your eternal happiness. We all miss you, forever and after.