Sudah memasuki bulan kedua di 2017 dan atmosfer tahun baru sudah mulai menipis. Di awal tahun hampir semua orang berlomba-lomba mengekspresikan antusiasme mereka terhadap tahun baru. Pesta pora, hura-hura, bakar ini-itu, konsumsi, konsumsi, dan konsumsi.
Jujur hal tersebut membuat saya bertanya-tanya. Memang bukanlah suatu kewajiban untuk ikut serta merayakan atau setidaknya merasa antusias terhadap tahun baru. Namun mengapa kebanyakan orang seperti itu? Sekedar bersenang-senang? Bukankah bersenang-senang dapat dilakukan kapan saja? Sebagai momentum pembaharuan diri agar menjadi lebih baik? Bukankah memperbaiki diri dapat dilakukan kapan saja, atau lebih baik lagi setiap saat?
Konformitas semacam itu sebagai perilaku sosial yang membuat saya heran dan tertawa melihat segerombol individu melakukan hal yang sama, meniru dan bersikap latah dari waktu ke waktu. Memang betul adanya perayaan tahun baru merupakan hal yang wajar dan lumrah, mungkin karena setiap saat kita dibombardir oleh pesan dan konten perayaan tahun baru melalui segala bentuk media, dari mulai film, literatur, media sosial, iklan, musik, dan lain sebagainya.
Jika diperhatikan masyarakat global memiliki kecenderungan untuk memaklumi dan meniru segala hal secara kolektif, ketika hal tersebut disuguhi secara simultan melalui media. Bahkan jika hal tersebut tidak etis, tidak estetis, atau bahkan tidak manusiawi. Contoh kecilnya adalah ketika masyarakat global bersikap latah dan meniru segenap gaya hidup keluarga Jenner dan Kardashian. Jujur, saya cukup muak melihat banyak sekali wanita yang mengenakan choker dan memonyong-monyongkan bibir, berusaha keras mengimitasi Kylie Jenner.
Atau dalam skala lokal, fenomena popularitas YouTubers yang menyebabkan banyak pria rela mengorbankan kejantanannya dengan mewarnai rambut dan mengenakan kaos yang terlihat seperti daster. Mungkin kini dengan berdandan seperti itu dapat diidentifikasi sebagai seorang pria yang jantan. Hal itu jelas menunjukkan bahwa definisi jantan dan maskulinitas telah bergeser secara signifikan.
Begitupula dengan gaya hidup. Lagi-lagi saya muak melihat konten Instagram dan YouTube yang seragam; di mall, di klub malam, di restoran, atau di tempat penginapan mewah di sekitar Bali. Mengapa harus seperti itu? Agar mendapat predikat 'gaul'? Agar menjadi populer di media sosial seperti Awkarin? Mungkin mereka akan mencoba mematahkan asumsi saya dengan menyuarakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan mereka bebas berbuat apapun selama tidak melanggar hukum. Begitupula dengan saya, bukan? Saya pun memiliki hak untuk menolak konformitas sosial dan beropini selama tidak melanggar hukum.
Pertanyaan terbesarnya adalah mengapa harus menjadi latah dan meniru? Mengapa harus menjadi konformis dan imitator, sementara kita bisa menciptakan dan menjalankan gaya hidup kita sendiri yang sesuai dengan standar etika dan estetika masing-masing?
Dan berapa lama mereka akan menggandrungi suatu tren? Kita dapat amati betapa mudahnya bagi mereka untuk merubah konsep diri dan menyesuaikannya dengan tren yang sedang populer. Sungguh memprihatinkan betapa mudahnya mereka dikendalikan oleh korporat kapitalis yang membentuk dan menentukan tren, sekaligus mengambil keuntungan komersil dari hal itu. Mereka benar-benar terkesan seperti sekelompok individu yang mengalami krisis identitas yang tak henti-henti. Atau lebih tepatnya bagaikan segerombolan domba yang mengikuti ke arah manapun si peternak menggiringnya untuk dieksploitasi.
Saya tertawa sendiri ketika memikirkan hal ini; seandainya The Jenners, The Kardashians, Justin Bieber, Young Lex, Awkarin, Rich Chigga, Reza Oktovian, dan para role model masa kini lainnya secara bersamaan mengonsumsi kotoran mereka sendiri dan dipublikasi oleh media massa dan akun media sosial mereka, apakah kalian akan turut mengimitasi hal tersebut?
No comments:
Post a Comment