Ada banyak hal yang tak bisa dipisahkan dari
kehidupan manusia. Salah satunya adalah musik. Tanpa musik, hidup ini terasa
mati. Manusia bisa menjadi gila tanpa wadah untuk berkreasi dan berekspresi.
Bahkan, musik seakan menjadi kebutuhan primer bagi sebagian banyak orang. Maka
dari itu, industri musik merupakan salah satu bisnis yang paling menguntungkan
di dunia. Terdapat jutaan label rekaman yang berdiri di muka bumi ini mulai
dari yang kecil-kecilan, hingga yang raksasa. Begitu pula di Indonesia, dengan
pesatnya kemajuan teknologi informatika, terdapat banyak sekali label rekaman
dengan kelas-kelas tertentu pula.
Secara movement
dan eksistensi, musik terbagi menjadi dua jalur, yaitu jalur mainstream dan jalur underground. Musisi yang eksis di jalur mainstream umumnya mengusung musik
pasaran yang dapat kita saksikan hampir setiap hari di televisi dan
popularitasnya pun merakyat. Sedangkan musisi underground umumnya mengusung genre yang tidak biasa dan tidak
pasaran seperti metal, rock, punk, jazz, blues, dsb. Tidak seperti musisi mainstream, musisi underground memiliki popularitas yang segmented karena penikmatnya berasal dari kalangan tersendiri yang
didominasi oleh remaja. Musisi juga tak bisa lepas dari label. Label adalah
perusahaan yang bertugas untuk memproduksi, mendistribusi, dan mempromosi karya
dari musisi dengan imbalan pembagian keuntungan dari hasil penjualan karya
maupun pendapatan manggung. Label terbagi menjadi dua jenis, yaitu label major dan label indie. Perbedaan spesifik dari major
dan indie terdapat pada modal
produksi dan jangkauan distribusi/promosi. Label major memiliki jangkauan distribusi dan promosi yang luas serta
modal yang besar sehingga dapat mempromosikan musisi ke media raksasa seperti
televisi. Namun hanya musisi tertentu yang dapat memasuki lingkaran label major, yaitu musisi yang memiliki nilai
jual tinggi yang berpotensi dapat mengembalikan modal besar yang telah
dikeluarkan oleh label yang memiliki wewenang untuk menentukan konsep musik
dari musisi yang dijualnya, sehingga sangat sulit bagi musisi untuk mendapatkan
kebebasan dalam berkreasi. Lain halnya dengan label indie. Indie berasal dari
kata independent yang berarti
‘berdiri sendiri’. Dalam hal ini, ‘berdiri sendiri’ berarti menciptakan,
memproduksi, mendistribusi, dan mempromosikan karya tersebut secara mandiri
tanpa campur tangan produser karena kebebasan sangat diutamakan dalam dunia
musik indie, dimana pihak label tidak
punya wewenang untuk menentukan dan merubah konsep apapun dari musisi. Namun umumnya
label indie memiliki modal seadanya
yang membuat produksi, distribusi, dan promosi pun dilakukan dengan seadanya
pula, sehingga jumlah konsumennya pun tidak semasif jumlah konsumen musik major dan hanya berasal dari kalangan
tertentu.
Kini industri musik tanah air seakan dimonopoli oleh
segelintir label major yang menguasai
jalur mainstream dan hanya
mengizinkan musisi-musisi tertentu untuk bisa berada di bawah naungan mereka. Dengan
modal yang besar serta promosi yang gencar, dengan mudah mereka dapat
mengorbitkan musisi yang dijualnya. Namun, bagi mereka hanya lah musisi pop
yang memiliki potensi ‘laku’ yang dapat berkesempatan untuk bekerja sama dengan
mereka. Bahkan, beberapa musisi yang awalnya beraliran rock/jazz terpaksa harus
berubah haluan demi memperoleh eksistensi yang dijamin oleh sang label. Salah
satu contohnya adalah Killing Me Inside yang merupakan band screamo post-hardcore yang rela menjual idealismenya dalam bermusik demi
mendapatkan gandengan dari Royal Prima Musikindo sebagai distributor yang
memiliki jangkauan distribusi dan promosi yang luas. Hasil dari ‘perkawinan’
tersebut adalah lagu “Biarlah” yang melenceng jauh dari konsep musik awal
Killing Me Inside. Jika dibandingkan dengan dulu, popularitas Killing Me Inside
kini jauh lebih merakyat. Sebelumnya, Killing Me Inside merupakan sebuah band indie yang bergerak di jalur underground yang hanya populer di
kalangan tertentu. Tak dapat dipungkiri bahwa yang mendongkrak popularitas
Killing Me Inside adalah lagu “Biarlah” yang sering muncul di televisi berkat
Royal Prima Musikindo yang juga membantu mereka untuk dapat eksis di jalur mainstream. Yang lebih menyedihkan
adalah sikap label yang tidak memperdulikan kualitas musisi yang akan
diorbitkan. Bagi mereka, yang penting hanyalah nilai jual. Tak perduli seberapa
bobroknya kualitas musisi itu, asalkan mereka memiliki lagu yang berpotensi
untuk disukai masyarakat, maka musisi tersebut dapat deal kontrak dengan label. Dan sayangnya, masyarakat Indonesia
masih didominasi oleh para penikmat musik pop. Maka definisi musik ‘laku’ bagi
label adalah musik pop. Maka wajar saja musisi seperti Killing Me Inside rela
memainkan lagu pop ‘menyek-menyek’ dan wajar pula para label major tak punya nyali untuk mengorbitkan
musisi non-pop (walaupun sebenarnya berpotensi menjual) dan cenderung ‘cari
aman’ dengan hanya mengorbitkan musisi pop. Mereka takut modal besar yang
mereka keluarkan untuk memproduksi, mendistribusi, dan mempromosikan sang
musisi tidak kembali karena musik yang dijual tidak laku di pasaran.
Hal ini menciptakan musik yang homogen di jalur mainstream. Masyarakat tertentu berhasil
dibuat muak dengan kebanyakan stasiun televisi dan radio yang hanya berani
menampilkan musisi-musisi seperti yang saya sebutkan di atas yang cenderung
sejenis. Bagi pihak televisi, musisi non-pop berpotensi menurunkan rating program mereka karena penonton
televisi di Indonesia yang didominasi oleh masyarakat berselera musik pop. Maka
terjadi lah keseragaman jenis musik di jalur mainstream. Yang membedakan hanya lah formatnya. Ada penyanyi solo,
duo, trio, band, boy band, girl band, idol group, namun kontennya tetap pop. Ironisnya, bukan hanya
musik, namun juga lirik. Jika kita teliti memperhatikan lirik dari lagu-lagu yang
sering muncul di televisi itu, dapat disimpulkan bahwa hanya ada dua jenis tema
yang mereka usung dalam penulisan lirik, yaitu tema percintaan dan tema
motivasi (yang sedang booming
akhir-akhir ini seperti lagu “Jangan Menyerah” dari D’ Masiv, “Tendangan Dari
Langit” dari Kotak, dsb). Lirik-lirik seperti itu juga terkesan memiliki nilai
estetika yang buruk dan tidak puitis. Kita ambil contoh, Wali. Band beraliran
pop melayu itu terkesan asal dalam penulisan lirik dan pemilihan kata-katanya.
Lagu “Cari Jodoh” yang sempat booming
pada 2008, yang liriknya secara keseluruhan sangat sederhana dan ‘ngasal’ : “Ibu-ibu, Bapak-bapak, siapa yang punya anak
bilang aku, aku yang tengah malu pada teman-temanku karena cuma diriku yang tak
laku-laku.” Dan masih banyak band-band pop seperti Wali dengan lirik yang
banal. Hal ini jelas mengindikasikan bahwa musik mainstream di Indonesia sedang mengalami krisis kualitas dan
variasi.
Pertanyaannya adalah “Mengapa band-band pop dengan
kualitas musik yang seadanya, serta tema lirik yang homogen dan banal dapat
disukai oleh banyak orang?” Hal ini merujuk kepada media yang memiliki pengaruh
paling kuat yang digunakan oleh label, yaitu televisi. Bisa dibilang 80% yang
menentukan keberhasilan label dalam promosi adalah televisi. Label dan televisi
sama-sama sangat memperhatikan selera masyarakat untuk menentukan mana yang
harus ditayangkan dan diorbitkan, dan mana yang harus dihindari demi
mempertahankan rating dan keuntungan.
Sebagaimana yang kita ketahui, kebanyakan penonton televisi di Indonesia adalah
anak-anak, remaja, dan ibu rumah tangga yang kebanyakan memiliki selera musik easy-listening alias pop. Dan umumnya
mereka memiliki intelektualitas yang (masih) rendah, sehingga musik-musik
cerdas akan sulit diterima oleh mereka. Kalangan pendominasi jumlah penonton
televisi di Indonesia itu pun akan sulit menerima lagu-lagu dengan lirik
bertema politik, kritik sosial, kritik pemerintah, dan tema-tema selain
percintaan dan motivasi lainnya. Karena lirik bertema politik, kritik sosial,
kritik pemerintah, identik dengan istilah-istilah yang mungkin terdengar asing
bagi mereka. Beda halnya dengan lirik percintaan dan motivasi yang kebanyakan
menggunakan diksi, kata, dan istilah yang sederhana sehingga mudah diterima.
Sebenarnya sah-sah saja mereka menikmati lagu dengan
lirik yang sederhana karena salah satu misi para musisi adalah menyampaikan
pesan mereka lewat lirik. Agar pesan tersebut dapat mudah diterima oleh
masyarakat, maka mereka membuat lirik yang sederhana. Namun yang memperburuk
adalah penulisan lirik dengan angle
yang sejenis. Seperti yang dikatakan oleh Cholil Mahmud yang merupakan pentolan
dari band indie asal Jakarta, Efek
Rumah Kaca. “Boleh aja bikin lirik
tentang cinta, tapi kalo bisa angle-nya harus beda”. Efek Rumah Kaca adalah
band indie beraliran pop dengan
kualitas pop yang dapat disejajarkan dengan Nidji, Peterpan, dan Sheila On 7,
namun lirik lagunya banyak terinspirasi dari lirik lagu-lagu Iwan Fals yang kerap
mengangkat tema kritik sosial, politik, dan pemerintahan. Mereka juga kerap
menulis lirik tentang lingkungan seperti pada lagu “Efek Rumah Kaca”,
“Desember”, dan “Hujan Jangan Marah”. Efek Rumah Kaca anti menulis lirik
tentang cinta. Sesekalinya mereka menulis lirik tentang cinta adalah lagu
“Bukan Lawan Jenis” namun disajikan dengan angle
yang berbeda, yaitu tentang percintaan homoseksual. Selain itu, Efek Rumah Kaca
juga terkenal dengan idealismenya yang sangat kuat. Bagaimana tidak? Mereka
pernah menolak tawaran Sony BMG, salah satu label major terbesar di Indonesia, yang berminat merilis album mereka. “Selama kualitas sinetron di Indonesia masih
seperti sekarang, kami gak akan pernah mau menerima tawaran label major karena
mereka memiliki wewenang untuk menjadikan lagu-lagu kami sebagai soundtrack
sinetron. Selain itu mereka juga berhak merubah musik dan lirik kami sesuai
dengan keinginan mereka.” Ujar Cholil, vokalis sekaligus gitaris dari Efek
Rumah Kaca.
Sangat disayangkan pula bahwa musik underground di Indonesia kini mulai
terserang ‘penyakit’. Meski memiliki musik dan lirik yang variatif, namun scene musik underground di Indonesia akhir-akhir ini terkesan latah. Ketika
tren musik metal sedang populer,
serentak semua orang membentuk band metal.
Begitu pula dengan musik pop punk,
hardcore, dsb yang juga memiliki masa popularitasnya masing-masing. Para
musisi underground (terutama yang
baru) cenderung membuntut kepada tren yang sedang populer (di jalur underground). Berbeda dengan jalur mainstream yang konsisten dengan musik
popnya. Hal lain yang membuat kondisi musik underground
di Indonesia semakin mengkhawatirkan adalah sistem registrasi band yang
diberlakukan oleh hampir seluruh event
organizer di Indonesia yang bergerak di jalur underground. Saat ini, membentuk sebuah band underground benar-benar semudah membalikkan telapak tangan. Yang
diperlukan hanya lah personil dan uang. Skill
menjadi nomor kesekian bagi band-band tersebut. Pasalnya, mereka dapat manggung
dimana saja dan kapan saja dengan membayar biaya registrasi. Inilah yang
disebut dengan sistem registrasi. Siapa pun itu, tak perduli dapat bermain
musik atau tidak, asal punya uang, dapat tampil di acara-acara yang memberlakukan
sistem registrasi. Selain itu, kini band juga dapat menentukan posisi logo mereka
di flyer acara. Semakin atas, semakin
besar uang yang harus dikeluarkan. Band underground
berkualitas maksimal, dengan modal minim dapat sukses, namun dengan
perjuangan dan ketekunan terlebih dahulu, seperti Burgerkill, Siksa Kubur, dan
band-band underground senior lainnya
yang eksis dan berhasil bertahan hampir 20 tahun lamanya. Sedangkan band underground berkualitas minim, dengan modal maksimal, dapat sukses
dengan instan. Yang bicara adalah uang. Uang diutamakan, kualitas
dikesampingkan. Lama-kelamaan menjadi mirip seperti jalur mainstream. Sama-sama mengutamakan uang, sama-sama mengesampingkan
kualitas. Yang membedakan hanya soal kebebasan berkreasi. Di jalur underground sangat mengizinkan hal
tersebut, tidak seperti di jalur mainstream
yang terkesan mewajibkan pengusungan genre pop.
Yang lebih menyedihkan adalah sikap event organizer terhadap band-band baru
yang tidak hanya diharuskan membayar biaya registrasi, namun juga diwajibkan
jualan tiket. Ini disebut dengan sistem share
tiket. Biasanya dalam sebuah acara underground,
selain diwajibkan membayar biaya registrasi, band diwajibkan menjual 10-30
tiket. Bahkan, band saya pernah diwajibkan menjual 50 tiket. Pada 2013 lalu,
sebuah acara hardcore besar-besaran
diadakan di Bekasi. Ketika itu saya mencoba untuk melobi pihak event organizer agar band saya dapat
menjadi salah satu pengisi acara, tanpa mengharapkan bayaran sepeser pun. Pihak
event organizer sama sekali tidak
meminta kami untuk mengirimkan lagu demo ataupun tampil dihadapan mereka untuk
menguji kelayakan dan kualitas kami, melainkan menyuruh kami menjual 50 tiket
dengan harga Rp. 25.000 per tiketnya dan kami diwajibkan untuk membayar
(nombok) jika ada tiket yang tersisa. Itu artinya jika kami sama sekali tidak
berhasil menjual tiket, kami harus membayar uang sebesar Rp. 1.000.000 kepada
pihak event organizer. Uang sebesar
itu sangat besar bagi pelajar seperti kami. Namun Alhamdulilah, dengan usaha
keras, semua tiket laku terjual dan kami berhasil tampil di acara bergengsi
tersebut. Pengalaman pahit lainnya juga pernah saya rasakan ketika hendak
tampil di sebuah acara lain yang sama-sama memberlakukan sistem registrasi +
share tiket. Ketika itu kami tidak berhasil menjual semua tiket, sehingga
terdapat beberapa tiket yang tersisa. Kami pun dibentak-bentak oleh panitia
dengan cara yang tidak senonoh. Kami diwajibkan untuk membeli tiket-tiket yang
tersisa dengan ancaman nama kami akan dihapus dari rundown dan biaya registrasi yang telah kami bayar akan
dihanguskan. Akhirnya, setelah meminjam uang sana-sini, kami dapat membeli
tiket-tiket tersebut dan izinkan untuk tampil.
Hal-hal diatas jelas menjadi pertanda bahwa industri
musik tanah air sedang berada di zona sekarat. Belum lagi masalah undang-undang
hak cipta dan pembajakan yang hanya merupakan teori belaka. Siapa saja yang
melanggar undang-undang tersebut tidak pernah ditindak tegas sesuai dengan
sanksi yang berlaku, sehingga di Indonesia, pembajakan terkesan merupakan
sesuatu yang legal dan halal. Kini seluruh musisi di Indonesia lebih
mengutamakan penghasilan yang didapatkan dari manggung ketimbang dari penjualan
album. Sekarang semua orang di Indonesia dengan mudah dapat mengunduh album
yang diinginkan secara gratis dan ilegal, dan dapat memperbanyak serta menjual
kembali album tersebut secara ilegal pula tanpa terjerat sanksi dari
undang-undang yang berlaku. Maka di Indonesia saat ini, musisi bukan lah
profesi yang menjanjikan. Hanya orang-orang dengan kemampuan berbisnis, kecerdasan
musikal, dan beruntung seperti Ahmad Dhani yang mampu sukses secara finansial
sebagai musisi.
Jalur mainstream
dan underground di Indonesia
sudah sama-sama bobrok kualitas dan sistemnya. Musik mainstream yang homogen hanya dapat diperbaiki dengan cara merubah
selera musik masyarakat menjadi lebih variatif. Satu-satunya yang dapat
melakukan itu adalah media, terutama televisi. Memang diperlukan nyali yang
besar bagi media mainstream untuk menghadirkan
musisi non-pop. Namun sepertinya mereka masih dihantui oleh rating. Melihat program seperti Radio
Show di TV One yang berani menghadirkan musisi-musisi ‘terpojok’ dan sangat
disayangkan usia program tersebut tidak mencapai dua tahun. Logika
sederhananya, sebuah program televisi yang usianya pendek, berarti yang menonton
pun sedikit dan jumlah penonton sangat berpengaruh terhadap rating. Modal untuk memproduksi sebuah
program di televisi didapatkan dari pengiklan yang tentunya hanya mau beriklan
pada program-program ber-rating
tinggi. Jumlah penonton sedikit → rating rendah → tidak ada iklan → tidak ada modal produksi → program dihapus. Dengan sedikitnya jumlah
penonton Radio Show, secara tidak langsung menggambarkan selera musik
masyarakat di Indonesia. Program musik lainnya yang konsisten menghadirkan
musisi pop, seperti Dahsyat dan Inbox terbukti bertahan selama bertahun-tahun
hingga sekarang dan saya percaya rating-nya
pun tinggi. Ini menjadi bukti bahwa masyarakat di Indonesia masih didominasi
oleh penikmat musik pop. Kunci untuk menjadikan musik mainstream di Indonesia agar lebih variatif adalah masyarakat itu
sendiri. Mainstream bicara soal
mayoritas. Jika mayoritas selera musik masyarakatnya beragam, maka musisi,
label, dan media pun akan mengikutinya. Namun
tak dapat dipungkiri lagi bahwa bukan merupakan hal yang mudah untuk merubah
selera musik masyarakat.
Untuk permasalahan di jalur underground,
sebenarnya lebih sederhana dibandingkan permasalahan di jalur mainstream. Kelatahan para musisi underground yang selalu bergantung pada
tren, bukan lah sebuah masalah yang serius karena musik underground yang beragam, menciptakan pasarnya masing-masing. Suatu
jenis musik yang sedang populer di jalur underground
tidak menjadi masalah bagi jenis musik underground
lainnya yang sedang tidak populer, karena adanya pasar yang mereka ciptakan
masing-masing. Yang menjadi ‘penyakit’ adalah sistem yang diberlakukan. Seperti
yang saya sebutkan di atas, sistem registrasi dan share tiket melenyapkan jaminan kualitas di jalur underground. Dan yang membuat para event organizer memberlakukan sistem
tersebut adalah modal yang terbatas, yang disebabkan oleh jumlah konsumen musik
underground yang tidak sebanyak
konsumen musik mainstream. Maka modal
yang dikeluarkan pun tidak sebanyak modal yang dikeluarkan di jalur mainstream. Memang sangat sulit untuk
menemukan solusinya. Kebebasan yang dinomorsatukan di jalur underground menjadi pemicu terjadinya
‘penyimpangan’ ini karena menimbulkan persaingan yang ketat dan membuat uang
‘bicara’ pada akhirnya.
Kita sebagai penikmat musik tanah air hanya bisa geleng-geleng
kepala atas fenomena-fenomena memprihatinkan tersebut. Keresahan kita sebagai
penikmat musik yang kritis, diharapkan dapat menjadi pemicu terjadinya perubahan
ke arah yang lebih baik (di bidang musik, tentunya).
Revolusi tidak selalu bicara soal pergerakan yang besar dan
cepat. Revolusi bisa dimulai dari hal-hal kecil, yang lama-kelamaan, dengan
kegigihan, ketekunan, dan konsistensi, akan berkobar menjadi sebuah perubahan
yang besar. Seperti yang dikatakan oleh John Lennon, “I start a revolution from my bed.”
Nice x)
ReplyDelete