Sebagai salah satu band metal dunia berkaliber
besar, Slipknot kerap menjadi sorotan media-media bergengsi seperti Metal
Hammer, Revolver, Rolling Stone, dll. Keunikan dari band bentukan tahun 1995
tersebut memang menjadi nilai plus besar yang membuat media-media di atas
seakan tak ada habis-habisnya dalam memberitakan perkembangan Slipknot sehingga
popularitas band asal Des Moines, Iowa, Amerika Serikat tersebut terus meroket dan
menjadi salah satu band yang fenomenal. Hal-hal unik dan menarik dari mulai
penomoran personil, kostum, topeng, instrumen, lirik, hingga musiknya sendiri
memang menjadi daya tarik bagi para ‘konsumen’ metal se-dunia.
Kali ini saya akan membahas tentang evolusi musik
Slipknot dari mulai debut album mereka yang diluncurkan pada tahun 1999, hingga
sekarang.
Slipknot (1999)
Album yang menjadi best-selling Roadrunner Records ini
merupakan artefak perdana Slipknot di ranah musik dunia sekaligus menjadi
semacam sebuah ‘ledakan’ yang mengagetkan karena merupakan album yang membawa
sebuah warna baru dalam dunia musik metal. Percampuran yang sangat baik antara unsur
nu metal, hardcore, dan techno membuat Slipknot seakan menjadi
nabi yang membawa ajaran baru kepada metalheads
dunia sekaligus menjadi band pendatang baru yang fenomenal pada saat itu.
Lagu-lagu seperti “(Sic)”, “Eyeless”, “Wait and Bleed”, “Surfacing”, “Liberate”,
“Spit It Out”, dan “Get This” seolah menjadi soundtrack harian bagi para metalhead
ketika itu. Musik yang perkusif dan groovy,
perpaduan vokal scream dan rap, serta lirik yang eksplisit tetapi
menarik membuat album ini pantas menjadi sebuah masterpiece bagi Slipknot. Tak heran mengapa album self-titled ini seakan menjadi ‘akar’
bagi Slipknot untuk album-album selanjutnya.
Iowa
(2001)
Ketika metalheads dunia belum sempat
detoksifikasi dari album self-titled,
pada tahun 2001, Slipknot kembali menginjeksi mereka dengan ‘racun’ bernama “Iowa”
yang lebih mematikan dari sebelumnya. Album ini masih berada dibawah naungan
Roadrunner Records dan tentunya kembali menyandang gelar best-selling. Menurut saya pribadi, sejauh ini belum ada album yang
bisa menandingi ‘kegelapan’ Iowa baik dari segi musik, lirik, maupun sound. Jika pada album self-titled saya mendeskripsikannya
sebagai album yang ‘liar’, pada album Iowa saya bisa menyebutnya sebagai
Slipknot versi ‘buas’ karena karakter vokal
growl dan scream Corey Taylor
yang sangat menyeramkan pada album ini membuat banyak pihak yang
menyebut-nyebut Iowa sebagai album terbaik yang pernah dibuat oleh Slipknot.
Unsur groovy pada album ini juga masih
sangat terasa sehingga membuat Iowa menjadi lengkap. “Disasterpieces”, “People
= Shit”, “Everything Ends”, “My Plague”, dan “The Heretic Anthem” merupakan
lagu-lagu yang saya favoritkan pada album ini.
Vol.
3 : The Subliminal Verse (2004)
Roadrunner Records
kembali merilis album dari ‘anak emas’nya pada tahun 2004. Sedikit berbeda dari
dua album sebelumnya karena unsur nu
metal yang sedikit lebih kental, “Vol. 3 : The Subliminal Verse” tetap
menjadi album yang berbahaya bagi metalheads
dunia. Konten eksplisit dalam lirik yang berkurang dari sebelumnya, membuat
album ini seolah menjadi album Slipknot yang lebih dewasa. Riff-riff groovy khas Slipknot seperti pada lagu “Three Nil” memang membuat
orang menari rusuh ketika mendengarkannya, atau ritem yang energetic pada lagu “The Blister Exists”
yang berpotensi membuat para pendengarnya seketika headbang. Pada pertengahan lagu “The Blister
Exists” juga terdapat bagian solo drum dan perkusi ala marching band yang
memukau dan membuat maggots semakin
jatuh cinta dengan Slipknot. Lagu-lagu seperti “Duality” dan “Vermilion” juga
menjadi lagu favorit karena karakter vokal clean
Corey Taylor yang lebih ditonjolkan yang membuat kedua lagu ini menjadi sebuah ‘patokan’
atas unsur nu metal yang dimiliki
Slipknot.
All
Hope Is Gone (2008)
Empat tahun setelah
dirilisnya “Vol. 3 : The Subliminal Verse”, band dengan sembilan orang personil
tersebut kembali dipinang oleh Roadrunner Records untuk yang keempat kalinya.
Slipknot kembali menerjang maggots
dengan “All Hope Is Gone” yang menurut saya agak ‘berbelok’ dari tiga album
sebelumnya. Self-titled, Iowa, dan
Vol. 3 : The Subliminal Verse itu istilahnya masih ’11-12-13’, tetapi pada All
Hope Is Gone ini Slipknot mencoba untuk lepas dari ‘akar’nya yaitu album debutnya sendiri, walaupun tidak sepenuhnya berhasil. Dari segi sound, saya bisa katakan bahwa ini
adalah album Slipknot dengan kemasan sound
terbaik karena jika dibandingkan dengan ketiga album sebelumnya, sound pada album ini terdengar lebih tebal
dan garang. Saya juga bisa mendeskripsikan album ini sebagai album ‘terberat’
yang pernah dibuat oleh Slipknot karena “Gematria (The Killing Name)”, “Sulfur”,
“Psychosocial”, “Vendetta”, “Butcher’s Hook”, “This Cold Black”, “Wherein Lies
Continue”, dan “All Hope Is Gone” menjadi lagu-lagu yang membuat Slipknot menjadi
monster yang jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya. “Psychosocial” adalah lagu
yang mendapat pujian bertubi-tubi karena komposisinya yang berat, namun tetap easy-listening karena dibalut
dengan vokal clean Corey Taylor yang melodious pada bagian reff sehingga lagu tersebut menjadi lagu yang mendongkrak popularitas Slipknot ke level
selanjutnya. Pada album ini Slipknot juga mencoba untuk lebih bereksplorasi
dengan menyuntikkan elemen musik djent
dan progressive metal seperti pada
lagu “Butcher’s Hook”. Tidak beda jauh dengan “Vol. 3 : The Subliminal Verse”, konten
eksplisit dalam lirik pada album ini juga tidak ‘separah’ album self-titled atau yang lebih kejam, Iowa.
Sayangnya album ini menjadi album terakhir bagi Paul Gray sang basis yang
meninggal dunia pada tahun 2010.
Kurang lebih seperti itulah evolusi musik Slipknot
menurut perspektif saya sebagai salah satu dari jutaan maggots di seluruh dunia. Jika dilihat dari segi live performance, ada sedikit kekecewaan
atau mungkin keanehan yang saya rasakan setiap menyaksikan rekaman penampilan live Slipknot dari waktu ke waktu.
Pertama, semenjak kematian Paul Gray, Slipknot terlihat seperti mengurangi ‘dosis
ugal-ugalan’ ketika sedang manggung. Berkurangnya aksi-aksi chaotic yang biasa ditampilkan oleh
Slipknot seperti headbanging, lompat-lompat,
hingga stage diving, hingga
bakar-bakaran seperti pada era album self-titled
memang membuat saya kecewa. Bahkan Joey Jordison yang terkenal jago headbanging sambil main drum itu sudah
tidak pernah melakukan itu lagi ketika manggung pasca kematian sang basis.
Kedua, lagu-lagu ‘berbisa’ dari album All Hope Is Gone seperti “Gematria (The
Killing Name), “Vendetta”, “Wherein Lies Continue”, dan “This Cold Black” tidak
pernah dibawakan secara live, entah
mengapa. Ketiga, 3-4 tahun terakhir, vokal growl
dan scream Corey Taylor ketika tampil
secara live menurut saya
sangat-sangat buruk dan terdengar seperti orang yang tidak bisa melakukan hal
itu, terutama saat membawakan lagu-lagu dari tiga album pertama Slipknot. Hal
tersebut membuat saya sangat kecewa karena Corey Taylor terkenal dengan ‘kesadisan’
vokal growl dan scream-nya seperti pada album Iowa yang benar-benar mengagumkan
itu. Intinya, menurut saya saat ini hal-hal yang bisa menjadi nilai plus pada
saat Slipknot tampil secara live
hanyalah panggung besar
dengan tata lampu dan suara yang megah, hidraulik pada drum Joey Jordison dan
perkusi Shawn Crahan, dan festival-festival musik berkaliber besar dan
bergengsi yang selalu di-headlining
oleh Slipknot.
Seperti yang saya lansir pada postingan sebelumnya,
Jim Root memberikan sebuah kode berupa foto tentang Slipknot yang sedang
rekaman untuk album terbarunya yang rencananya akan dirilis pada tahun 2014.
Hal ini tentu menimbulkan dua tanda tanya besar, “Akan terdengar seperti apa
Slipknot pada album barunya? Apakah album tersebut bisa menandingi ‘kebuasan’
empat album sebelumnya?”
Well,
we’ll see..
No comments:
Post a Comment