Nyoblos? Nggak. Ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan pelajaran biologi bab reproduksi. Sama sekali gak ada.
Maksudnya nyoblos untuk memilih dan ikut serta dalam menentukan calon legislatif untuk periode tahun 2014 - 2019. Saya emang belom ada KTP (Cerita tentang kegagalan saya dalam mengurus KTP bisa dicek di postingan sebelumnya), tapi karena sudah didaftarkan oleh tante saya, maka untuk pertama kalinya dalam sejarah ketampanan Nuris Sungkar, saya ikutan nyoblos. Ingat, ini gak ada hubungannya dengan pelajaran biologi bab reproduksi. Karena saya bukan anak IPA.
Sebenernya ini masih kelanjutan dari petualangan saya menjajah rumah nenek dalam rangka mengurus KTP. Singkatnya, setelah saya berpetualang ke Universitas Bung Karno dan ke rumah Pak Dullah yang merupakan Ketua RT setempat, keesokan harinya, 9 April 2014, saya ikut menentukan apakah nasib bangsa kembali jatuh ke tangan wakil rakyat keparat, atau jatuh ke tangan wakil rakyat jujur (yang sewaktu-waktu dapat berubah menjadi keparat).
Pada pagi yang cerah, saya, Ayah saya, dan sepupu saya berangkat menuju
TPU TPS dengan menggunakan kendaraan favorit kami : sendal swallow. TPS yang terletak hanya dua rumah di sebelah rumah nenek saya, ketika itu sudah diisi oleh para panitia dan masih sedikit 'pencoblos' yang datang. Maklum, kami dateng jam 8 pagi. Tepat di depan TPS, terdapat papan bertempelkan kertas yang berisi berbagai macam logo partai beserta caleg-calegnya. Ayah saya menginstruksikan siapa saja caleg yang harus saya pilih, dan setelah saya melihat kertas tersebut, saya mengangguk yakin. Lalu kami masuk ke dalam lapangan futsal yang disulap menjadi TPS itu dan menyerahkan kartu peserta Pemilihan Legislatif 2014. Sang panitia menerima kartu kami dan mempersilahkan kami untuk duduk. TPS tersebut berisi 3 kotak suara, 3 bilik pencoblosan (?), sebuah meja untuk mencelupkan jari kita ke dalam botol tinta, dan sebuah meja panjang untuk para panitia dan para saksi. Kami duduk bersama dengan para 'pencoblos' lainnya yang dipanggil oleh panitia secara bergantian. 10 menit kemudian, panitia menyebutkan nama "Rosyad Ahmad Sungkar", dan Ayah saya bergegas menyiapkan kacamata dan maju. 5 detik kemudian, "Muhammad Nur Islam Rosyad Sungkar" dan dengan kegagahan maksimal, saya maju ke arah panitia untuk mengambil kertas suara, dan berjalan menuju 'bilik pencoblosan'. Yang pertama saya buka adalah kertas suara berwarna merah. Saya mencoba mengingat-ingat nama yang diberitahukan Ayah saya untuk dicoblos. Caleg-caleg yang diusulkan oleh Ayah saya merupakan yang terbaik dari yang terburuk. Namun semanis dan semenarik apa pun janji-janji para caleg tersebut, sebaik dan sebersih apa pun citra para caleg tersebut, saya pikir kemungkinan untuk "berubah haluan" bagi para caleg tersebut setelah terpilih, masih terbuka lebar. Maka dengan hati yang sangat yakin, saya merobek ketiga kertas suara tersebut. Sempat terpikir oleh saya untuk tidak nyoblos, namun demi menghindari kemungkinan penyalahgunaan kertas suara yang tidak terpakai, terpaksa saya tidak golput dan saya pastikan ketiga kertas suara yang saya rusak di 'bilik pencoblosan', tidak sah. Setelah melipat rapi ketiga kertas suara rusak tersebut, saya berjalan menuju kotak suara untuk memasukkan ketiga kertas suara 'rusak' kedalamnya sesuai dengan warna yang tertera. Lalu saya mencelupkan jari manis saya ke dalam tinta. Ya. Karena jari kelingking terlalu mainstream.
Ketika ditanya Ayah saya setelah sampai di rumah, saya menjawab bahwa saya telah memilih caleg-caleg sesuai dengan yang diinstruksikan oleh Ayah saya. Berbohong demi idealisme gak masalah kan? Dan satu hal yang bikin saya galau pada hari itu adalah saya tidak bisa memfoto jari manis bertinta saya sebagai dokumentasi hidup karena SD Card hape saya telah wafat 4 hari lalu.
Oh iya soal KTP saya? Pada malam harinya saya kembali menemui Pak Dullah dan menurutnya, KTP saya bisa dicetak di kelurahan pada hari Jumat. Hore!!! Tapi Ayah saya harus merogoh kocek sebesar Rp. 135.000 untuk biaya pembuatan KK baru. Hmmm..
No comments:
Post a Comment