Kemarin, H+1 UN 2014, merupakan hari perdana saya menjadi pengangguran setelah 'berdarah' menghadapi UN pada 14-16 April lalu. Dan pada pagi itu saya dibangunkan oleh suara Ayah saya yang sedang menelepon.
"Halo. Selamat pagi. Dengan Universitas Moestopo? Saya mau mendaftarkan anak saya ke FIKOM."
Kira-kira seperti itu lah Ayah saya berbicara di telepon. "Universitas Prof. Dr. Moestopo? Gak salah tuh?" Pikir saya. Lalu setelah Ayah saya menutup telepon, saya menanyakan hal tersebut ke beliau.
"Abah mau daftarin uis ke Moestopo?"
"Iya. Nanti lo ke sana ya beli formulir. Hari Minggu tes."
"Loh? Universitas Bung Karno gimana nasibnya?"
"Lupakan Universitas Bung Karno. Gua ragu soal kualitasnya."
Mendengar perkataan Ayah saya itu, saya langsung berpikir perjuangan saya ke Universitas Bung Karno untuk membeli formulir di siang bolong minggu lalu itu ternyata sia-sia. Tapi gak papa. Setelah saya browsing memang Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) kualitasnya tak perlu diragukan lagi. Bahkan salah satu jurnalis idola saya Wendi Putranto merupakan alumni universitas tersebut. Dari segi harga juga cukup jauh dibandingkan dengan Universitas Bung Karno yang uang masuknya hanya sekitar Rp. 2,5 juta dan SPP perbulan Rp. 350 ribu. Di Universitas Moestopo uang masuknya hampir menyentuh angka Rp. 16 juta dan Rp. 4 jutaan per semester. Harga tersebut memang cukup terasa berat bagi keluarga saya. Namun, Alhamdulillah Ayah saya ngomong "Gua akan fight demi masa depan lo." Makasih bah :')
Tepat pukul 11.00, saya berangkat menuju Universitas Moestopo yang terletak di kawasan Senayan. Setelah hampir 2 jam di perjalanan, saya sampai di sana dan langsung masuk ke ruang administrasi PMB Universitas Moestopo. Proses pengisian formulir hanya memakan waktu sekitar 5 menit dan setelah menyerahkan uang sebesar Rp. 300 ribu untuk formulir, saya bisa langsung pulang membawa kartu tes yang harus saya bawa kembali pada saat tes hari Minggu.
Karena baru nyampe udah disuruh pulang lagi, saya memutuskan untuk mampir ke rumah nenek saya di Tanah Abang sekalian mampir makan siang di Pasar Benhil. Saya juga sekalian menanyakan soal nasib KTP saya. Katanya sih udah jadi, tapi Pak RT-nya lagi ke Bogor. Yo wes lah kapan-kapan aja..
Pukul 15.30, saya pamit pulang kepada nenek dan tante saya. Saya naik mikrolet ke Karet untuk naik TransJakarta. Di halte TransJakarta Karet itu lah saya benar-benar baru pertama kali merasakan kekacauan kota Jakarta di jam pulang kantor. Jalan Jendral Sudirman macet parah di kedua arah! TransJakarta yang lewat selalu penuh! Sementara orang yang mengantri di halte sudah membludak! Benar-benar chaotic! Setelah sejam lebih saya berdiri, akhirnya ada satu bus TransJakarta yang cukup lega. Namun pada saat masuk, puluhan orang yang mengantri di belakang saya juga ikut masuk dan saya pun berdiri sambil desak-desakan di dalam bus. Pada saat di dalam bus, sejauh mata memandang hanyalah orang-orang berkemeja kantoran yang jumlahnya buanyak banget. Kekacauan kedua terjadi kembali di Semanggi. Ya. Macet! Perjalanan Semanggi - Cawang yang biasanya hanya memakan waktu 10-15 menit, sore itu memakan waktu hingga 1,5 jam! Dan saya berdiri! Pada saat masuk tol saya kira penderitaan saya akan segera berakhir, namun kenyataannya tidak. Di tol juga macet. Setelah berdiri selama sejam selama macet di tol, bus tersebut keluar tol Cibubur. Saya kembali berpikir bahwa penderitaan saya akan segera berakhir. Namun, Tuhan berkehendak lain. Dari pintu tol Cibubur menuju Nagrak pun macet parah! Dan pada akhirnya saya menginjakkan kaki di rumah pada pukul 20.15 malam! Hampir 5 JAM PERJALANAN BERDIRI DI DALAM BUS! BAYANGKAN! Saya langsung buru-buru menjatuhkan diri ke kasur dan pada saat ngulet, terdengar suara "Kretek-kretek-kretek." Dan disusul suara "Brot!"
No comments:
Post a Comment