Replace May 2017

Thursday, May 11, 2017

Ketika Preferensi Politik Menjadi Sebuah Tren

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun ini adalah fenomena politik yang luar biasa. Fenomena tersebut mempengaruhi berbagai elemen masyarakat, bahkan telah berhasil merubah sistem sosial. Secara sosial, kita semua terpecah belah berdasarkan preferensi politik. Dan banyak masyarakat yang apatis secara politik, berubah menjadi kritis secara tiba-tiba.

Hal tersebut merupakan hal yang baik dan patut diapresiasi, namun juga patut dipertanyakan apakah sikap kritis yang muncul tiba-tiba itu merupakan sikap kritis karbitan ataukah sikap kritis yang otentik?

Di era teknologi informasi ini, setiap fenomena berkaitan erat dengan peran dan fungsi media massa. Media, baik media massa maupun media sosial, merupakan alat paling ampuh dalam membentuk, merubah, dan mengendalikan persepi, opini, dan perilaku masyarakat. Bahkan saya memiliki kesan bahwa dengan daya pengaruhnya yang luar biasa, media bagaikan alat untuk melakukan hipnotis massal.

Maka tak heran bahwa media massa kerap dijadikan senjata politik untuk mempengaruhi masyarakat demi merealisasikan kepentingan para politisi. Ditambah dengan melibatkan opinion leaders dan influencers yang memiliki kredibilitas dan popularitas, banyak sekali dari kita yang 'terhipnotis' untuk mengkultuskan atau membenci kandidat politik tertentu.

Dalam hal ini, beberapa dari opinion leaders dan influencers yang dipilih adalah para selebriti dan tokoh yang dikagumi oleh berbagai kalangan masyakarat. Fenomena politik terkair pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun ini menjadi sebuah tren. Preferensi politik menjadi sebuah produk budaya yang dikonsumsi secara massal dan simultan. Masyarakat yang pada awalnya bersikap apatis akibat terlena dengan gaya hidup yang disajikan oleh industri hiburan (yang merupakan sebuah agenda para elit politik agar masyarakat tidak perduli dan tidak mengawasi perilaku busuk mereka), secara tiba-tiba berubah menjadi kritis atas nama konformitas sosial.

Maka tercipta sebuah konsensus semu bahwa jika mendukung kandidat A, maka anda adalah orang yang modern, cerdas, dan trendy. Dan jika mendukung kandidat B, maka anda adalah orang yang konservatif, usang, dan bodoh. Celakanya, masyarakat memiliki kecenderungan konformitas yang tinggi. Budaya 'karbitan' atau budaya 'ikut-ikutan' masih mengakar kuat dalam diri mereka sehingga menjadikan mereka target empuk untuk dipengaruhi.

Hal tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya perpecahan sosial berdasarkan preferensi politik. Masyarakat begitu mengkultuskan kandidat tertentu dengan fanatisme buta atas nama tren dan konformitas, sehingga mereka melupakan fakta bahwa sang idola adalah seorang politisi yang berkancah dalam sistem politik busuk yang dicengkram oleh kapital dan elit politik yang busuk pula. Mereka melupakan fakta bahwa, baik politisi maupun ormas, disokong oleh kapital korporat yang memiliki kepentingan ekonomi di balik setiap fenomena politik dan sosial. Kandidat politik yang saling berkompetisi adalah bagaikan dua sisi dari koin yang sama.

Politik dan kapital adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bahkan jika diamati dengan seksama, negeri ini hanya dikendalikan oleh dua pihak; penguasa dan pengusaha. Penguasa adalah pemerintah dan antek-antek aparatnya yang mengendalikan secara konstitusional, dan pengusaha dengan monopoli kapitalnya yang mengendalikan negara di balik pemerintah.

Dua pihak tersebut bekerjasama, saling mendukung dan saling melindungi kepentingan satu sama lain. Kepentingan rakyat bukanlah prioritas mereka yang sesungguhnya. Populisme penguasa dan pengusaha adalah sesuatu yang bersifat utopis, bahkan di negara yang menjunjung tinggi sosialisme.

Kita harus memiliki ekspektasi dan harapan terhadap politisi. Kita harus memiliki preferensi politik. Namun, mengkultuskan seorang politisi di era ini bukanlah merupakan keputusan yang bijak.