Replace May 2015

Thursday, May 28, 2015

Meredefinisi Makna "Smart"

Banyak fenomena-fenomena sosial di sekitar kita yang sebetulnya aneh, namun sering terjadi di lingkungan sosial kita, atau justru kita yang menjadi korban fenomena-fenomena tersebut.

Terkait dengan yang saya tulis di post sebelumnya mengenai brand image, muncul pertanyaan-pertanyaan;

Mengapa kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk membeli produk-produk branded yang tentunya mahal, dengan kualitas yang belum tentu baik dibanding produk-produk lainnya yang tidak branded, tidak mahal, dan bisa saja berkualitas tinggi?

Mengapa kebanyakan masyarakat lebih memilih untuk membeli dan mengonsumsi makanan mahal dengan gizi rendah dan bahkan membahayakan kesehatan dibanding dengan makanan sehat yang murah?

Mari kita bandingkan. Lebih sehat dan bergizi yang mana : Big Mac seharga Rp. 30.000 atau Gado-Gado seharga Rp. 10.000? Namun mana yang lebih populer dan dapat meningkatkan status sosial?

Apakah merupakan sesuatu yang aneh? Menurut kebanyakan orang hal tersebut normal-normal saja, namun menurut saya ini benar-benar aneh. Fenomena di atas seakan menggambarkan bahwa masyarakat kita ini sungguh naif. Seakan-akan kita ini dibutakan, dibodohkan dan disihir oleh mantera-mantera konsumerisme, hedonisme, dan materialisme yang datang dari barat sana. Ketika seseorang pelanggan McDonald's lokal ditanyakan soal Big Mac vs. Gado-Gado seperti di atas, kemungkinan besar mereka akan menjawab dengan alasan selera dan rasa. Tapi menurut saya itu bullshit.

Tak dapat dipungkiri lagi, kebanyakan masyarakat Indonesia sekarang ini berasumsi bahwa Big Mac itu lebih lezat daripada Gado-Gado. Bagaimana ini bisa terjadi? Siapa yang merubah dan membentuk selera masyarakat Indonesia?

Mao Zedong pernah mengatakan bahwa kekuasaan itu datang dari laras bedil. Menurutnya senjata dan pertumpahan darah merupakan syarat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Namun sepertinya gagasan semacam itu kini sudah usang. Di zaman serba modern ini, dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, sepertinya kekuasaan sudah tidak datang dari laras bedil lagi, melainkan datang dari media.

Big Mac, jeans, kemeja flanel, dan produk-produk budaya Amerika lainnya seakan menjadi suatu 'paket' yang selalu dibawa oleh media-media raksasa yang mengglobal. Setiap harinya di seluruh dunia ditayangkan iklan-iklan persuasif yang mempromosikan produk-produk tersebut. Di adegan-adegan film hollywood yang kita kagumkan itu, selalu menampilkan produk-produk budaya barat dengan berbagai macam cara, dikemas dengan sedemikian rupa sehingga terkesan keren dan menarik.

Setiap harinya, masyarakat kita dibombardir secara terus-menerus oleh media yang selalu membawa 'paket' tersebut melalui beragam medium dari mulai iklan, film, literatur, musik, dsb. Dengan begitu, mereka berhasil merubah persepsi masyarakat Indonesia; dari yang tidak enak menjadi enak, tidak boleh menjadi boleh, tidak baik menjadi baik, dsb.

Melalui segala media dan teknologi canggih yang mereka kuasai, budaya barat berhasil menjadi semacam tolak ukur bagi masyarakat kita dalam menentukan segala hal. Cantik atau tidaknya seorang wanita ditentukan dengan menggunakan tolak ukur barat. Semakin terlihat bule, semakin dianggap cantik. Begitu pula dengan menentukan lezat atau tidaknya suatu makanan, tanpa sedikitpun memperhatikan kualitas gizi makan tersebut.

Big Mac masuk dalam kategori makanan sampah. Istilah ini bahkan datang dari mereka sendiri, junk food. Namun makanan sampah yang rendah gizi ini justru menjadi makanan mahal, bergengsi, dan berpotensi meningkatkan status sosial seseorang. Konsumen makanan sampah barat di Indonesia banyak berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas yang umumnya berpendidikan, intelektual, dan modern. Orang-orang itulah yang selalu berkata "be smart".

Namun ironisnya mereka adalah para konsumen setia makanan sampah. Memang sungguh menggelikan ketika kita melihat seorang pekerja kantoran dengan rambut klimis, pakaian classy kebarat-baratan, dan kacamatanya yang menggambarkan intelektualitas, sedang bercakap-cakap seputar bisnis dengan para kolega sambil menikmati segenggam Big Mac di McDonald's Kemang, lalu berkata "be smart".

Ya, sepertinya kita harus merubah persepsi kita dalam mendefinisikan "smart".

Monday, May 11, 2015

'A Youth Not Wasted' Is Coming! Another Interview with Dochi Sadega

Sebagai salah satu the most anticipated album lokal tahun ini, 'A Youth Not Wasted', album studio keempat milik pop-punkers Ibukota Pee Wee Gaskins benar-benar mengedepankan kualitas produksinya. Buktinya, Scott Sellers dari band pop punk Rufio asal Amerika Serikat akan turun tangan dalam proses produksi album ini. Beberapa lagu dalam album tersebut sudah dapat disaksikan versi live di Youtube seperti 'Teriak Serentak', 'My Sassy Girl', dan 'Serotonin'.

Berikut wawancara saya seputar 'A Youth Not Wasted' dengan sang lokomotif band tersebut, Dochi Sadega.

1. Bagaimana progress 'A Youth Not Wasted' so far? Sudah siap rilis kah?

Tinggal 1 lagu yang belum selesai recording dan menunggu hasil mixing-mastering dari Scott Sellers

2. Tanggal rilis?

Dijadwalkan setelah lebaran, mungkin Agustus

3. Seberapa banyak dan dalam hal apa saja keterlibatan Scott Sellers dalam A Youth Not Wasted?

Pemaksimalan pilihan sound, grammar correction, mixing dan mastering

4. Bagaimana menurut dia tentang album itu?

Tidak ada lagu yang dia tidak suka, katanya semua lagu di dalamnya catchy dan well-written

5. Apakah tracklist dari A Youth Not Wasted sudah bisa saya ketahui? :D

Belum, masih rahasia hehe

6. Benarkah 'Just Friends' akan dimasukkan dalam A Youth Not Wasted?

Yup

7. Sejauh ini 'Just Friends' sudah dirilis dalam 3 versi berbeda yang terdapat di The Transit EP dan PWG EP. Tolong ceritakan latar belakang terciptanya lagu tersebut dan mengapa begitu "spesial" sehingga terus-menerus dirilis dalam berbagai macam versi?

Gak ada alasan khusus, suka aja sama lagunya dan gak ada alasan. Why not? Hehehe

8. Apa yg membedakan 'Just Friends' dalam A Youth Not Wasted dengan 3 versi sebelumnya?

Beda versi, tunggu aja. Ini termasuk lagu favorit Scott di album ini

9. Bagaimana cerita Gania Alianda dari Billfold bisa featuring dengan PWG dalam lagu 'Serotonin'?

Gak direncanakan sebenernya, spontan aja. Seru kan?

10. Seru! Boleh cerita makna lirikal dibalik lagu 'Serotonin'?

Tentang kebahagiaan, serotonin kan hormon yang diproduksi tubuh ketika sedang bahagia. Lagu ini menceritakan saat tubuh kekurangan serotonin.

11. Setelah mendengar 'Teriak Serentak' saya bisa simpulkan dalam A Youth Not Wasted, PWG lebih bereksplorasi ke arah hardcore-punk. Apa benar?

Setelah denger Serotonin gak seperti explore ke pop punk ala TSSF / Such Gold / Neck Deep? Intinya memang album ini explore ke semua varian pop punk yang memang sangat luas, dan pembuktian bahwa PWG gak stuck di 1 gaya aja. Kayak sex, kan enaknya ganti-ganti gaya biar puas.

12. Apa karena kali ini sudah lepas dari major label sehingga lebih bebas dalam bereksplorasi?

Gak kok, label gak pernah membatasi kreatifitas, karena peran label adalah untuk distribusi. Yup; distribusi. Dan supaya punya legal rights yang kuat, plus bantu urusan pajak dan paperworks untuk international release.