Replace 2017

Thursday, May 11, 2017

Ketika Preferensi Politik Menjadi Sebuah Tren

Pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun ini adalah fenomena politik yang luar biasa. Fenomena tersebut mempengaruhi berbagai elemen masyarakat, bahkan telah berhasil merubah sistem sosial. Secara sosial, kita semua terpecah belah berdasarkan preferensi politik. Dan banyak masyarakat yang apatis secara politik, berubah menjadi kritis secara tiba-tiba.

Hal tersebut merupakan hal yang baik dan patut diapresiasi, namun juga patut dipertanyakan apakah sikap kritis yang muncul tiba-tiba itu merupakan sikap kritis karbitan ataukah sikap kritis yang otentik?

Di era teknologi informasi ini, setiap fenomena berkaitan erat dengan peran dan fungsi media massa. Media, baik media massa maupun media sosial, merupakan alat paling ampuh dalam membentuk, merubah, dan mengendalikan persepi, opini, dan perilaku masyarakat. Bahkan saya memiliki kesan bahwa dengan daya pengaruhnya yang luar biasa, media bagaikan alat untuk melakukan hipnotis massal.

Maka tak heran bahwa media massa kerap dijadikan senjata politik untuk mempengaruhi masyarakat demi merealisasikan kepentingan para politisi. Ditambah dengan melibatkan opinion leaders dan influencers yang memiliki kredibilitas dan popularitas, banyak sekali dari kita yang 'terhipnotis' untuk mengkultuskan atau membenci kandidat politik tertentu.

Dalam hal ini, beberapa dari opinion leaders dan influencers yang dipilih adalah para selebriti dan tokoh yang dikagumi oleh berbagai kalangan masyakarat. Fenomena politik terkair pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta tahun ini menjadi sebuah tren. Preferensi politik menjadi sebuah produk budaya yang dikonsumsi secara massal dan simultan. Masyarakat yang pada awalnya bersikap apatis akibat terlena dengan gaya hidup yang disajikan oleh industri hiburan (yang merupakan sebuah agenda para elit politik agar masyarakat tidak perduli dan tidak mengawasi perilaku busuk mereka), secara tiba-tiba berubah menjadi kritis atas nama konformitas sosial.

Maka tercipta sebuah konsensus semu bahwa jika mendukung kandidat A, maka anda adalah orang yang modern, cerdas, dan trendy. Dan jika mendukung kandidat B, maka anda adalah orang yang konservatif, usang, dan bodoh. Celakanya, masyarakat memiliki kecenderungan konformitas yang tinggi. Budaya 'karbitan' atau budaya 'ikut-ikutan' masih mengakar kuat dalam diri mereka sehingga menjadikan mereka target empuk untuk dipengaruhi.

Hal tersebut menjadi salah satu faktor terjadinya perpecahan sosial berdasarkan preferensi politik. Masyarakat begitu mengkultuskan kandidat tertentu dengan fanatisme buta atas nama tren dan konformitas, sehingga mereka melupakan fakta bahwa sang idola adalah seorang politisi yang berkancah dalam sistem politik busuk yang dicengkram oleh kapital dan elit politik yang busuk pula. Mereka melupakan fakta bahwa, baik politisi maupun ormas, disokong oleh kapital korporat yang memiliki kepentingan ekonomi di balik setiap fenomena politik dan sosial. Kandidat politik yang saling berkompetisi adalah bagaikan dua sisi dari koin yang sama.

Politik dan kapital adalah dua hal yang tak terpisahkan. Bahkan jika diamati dengan seksama, negeri ini hanya dikendalikan oleh dua pihak; penguasa dan pengusaha. Penguasa adalah pemerintah dan antek-antek aparatnya yang mengendalikan secara konstitusional, dan pengusaha dengan monopoli kapitalnya yang mengendalikan negara di balik pemerintah.

Dua pihak tersebut bekerjasama, saling mendukung dan saling melindungi kepentingan satu sama lain. Kepentingan rakyat bukanlah prioritas mereka yang sesungguhnya. Populisme penguasa dan pengusaha adalah sesuatu yang bersifat utopis, bahkan di negara yang menjunjung tinggi sosialisme.

Kita harus memiliki ekspektasi dan harapan terhadap politisi. Kita harus memiliki preferensi politik. Namun, mengkultuskan seorang politisi di era ini bukanlah merupakan keputusan yang bijak.

Friday, April 14, 2017

Seberapa Manusiakah Anda?

Marina Abramovic, Rhythm 0 (1974)



Di muka bumi ini, manusia adalah makhluk hidup yang paling superior dan sempurna. Oleh karena superioritas dan segala kesempurnaan yang kita miliki, manusia kerap disebut sebagai makhluk hidup yang paling unik dan kompleks.

Secara internal, inteligensi dan emosi merupakan dua aspek yang paling membedakan manusia dengan hewan, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya. Secara eksternal, norma, nilai-nilai,  agama, dan hukum merupakan aspek-aspek yang menjaga manusia agar tetap 'menjadi manusia'.

Salah satu hal yang dimiliki manusia yang merupakan karakteristik dasar dari setiap makhluk hidup adalah hasrat untuk memenuhi kebutuhan dan bertahan hidup. Maka dari itu, sistem diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia agar harmonis, walaupun sistem itu kerap disalahgunakan oleh monster kapital dan elit politik.

Sebetulnya, seperti apakah tabiat genuine dari seorang manusia? Apakah manusia berpikir dan berperilaku seperti pada umumnya apabila nilai, norma, agama, dan hukum dihapuskan?

Pada 1974, seorang seniman wanita bernama Marina Abramovic asal Yugoslavia mengadakan sebuah pergelaran seni pertujukan sekaligus eksperimen sosial yang diberinama "Rhythm 0" di Naples, Italia. Pada pergelaran tersebut, Abramovic berdiri secara pasif selama 6 jam dengan 72 objek yang disediakan di sebuah meja, seperti mawar, madu, anggur, roti, parfum, hingga gunting, pisau, dan sebuah pistol yang terisi peluru.

Para pengunjung diperbolehkan melakukan apa saja terhadap Abramovic yang pasif selama 6 jam untuk menguji seberapa jauh kemanusiaan seseorang akan bertahan ketika diberikan kebebasan sepenuhnya. Pada awalnya beberapa pengunjung hanya memberikannya mawar dan menciumnya. Setelah tiga jam, Abramovic mulai dilecehkan secara seksual dan pakaiannya digunting hingga terlepas.

Pada jam keempat, keadaan mulai tak terkendali dan nilai kemanusiaan para pengunjung mulai luntur. Beberapa bagian tubuhnya dilukai dengan silet, kemudian darahnya diminum, dan puncaknya adalah ketika seseorang mengambil sebuah pistol, mengokangnya dan hampir menembak kepala Abramovic dari jarak dekat sebelum digagalkan oleh salah seorang pengunjung lainnya.

Menghadapi suasana yang intens, Abramovic tetap berkomitmen untuk bersikap pasif dan berhasil menempuh waktu selama 6 jam. Ia berjalan menuju kerumunan para pengunjung, dan mereka yang melecehkan dan hampir membunuh Abramovic segera berlarian menghindarinya, bahkan tidak mampu menatap mata Abramovic.

Rhythm 0 merupakan sebuah bukti bahwa manusia tidaklah semanusia yang kita bayangkan. Pergelaran tersebut dapat dikatakan sebagai upaya kecil untuk melakukan dehumanisasi. Sedikit banyak, semua orang pastilah memiliki naluri hewani, naluri iblis, atau bahkan lebih buruk dari itu.

Bayangkan apabila Rhythm 0 digelar di masa kini dengan isu-isu sosial yang jauh lebih kompleks dan pesatnya kemajuan teknologi yang semakin menghapus nilai-nilai kemanusiaan. Dan bayangkan pula seandainya pergelaran serupa diadakan di Jakarta dengan masyarakatnya yang super padat, penuh tekanan, dan mudah terprovokasi. Saya yakin apabila itu terjadi di Jakarta pada saat ini, mungkin kurang dari dua jam Abramovic sudah tewas secara mengenaskan.

Dan apabila anda adalah salah satu pengunjungnya, apa yang anda akan lakukan?

Sunday, March 5, 2017

Daniel Mardhany dan Badai dalam Deadsquad

http://www.flickriver.com/photos/akmlnst/19465713425/

Unit death metal asal ibukota, Deadsquad, ditinggalkan oleh dua personilnya dalam interval hanya 22 hari. Andyan Gorust, penabuh drum sekaligus salah satu pionir dari band yang memasuki usia 11 tahun itu, mengundurkan diri pada 8 Februari. Dan Alan Musyfia, pemain bass yang tergabung selama 3 tahun terakhir, mengundurkan diri 22 hari setelah hengkangnya Gorust.

Para penggemar Deadsquad yang dijuluki Pasukan Mati tentu bertanya-tanya mengenai apa yang sedang terjadi di dalam band yang baru saja melakukan tur di Jepang tahun lalu. Terkait hal itu, saya mewawancarai Daniel Mardhany, sang frontman dan penulis lirik dalam band tersebut.


Dalam setahun terakhir, Deadsquad kehilangan tiga personilnya dari mulai Coki Bollemeyer, Andyan Gorust, hingga Alan Musyfia. Bahkan pemain bass terdahulu, Bonny Sidharta, telah mengundurkan diri lebih awal. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di dalam DeadSquad?

Sedang terjadi badai dalam band ini. Saya tetap bertahan di tengah badai yang sangat tidak saya harapkan, tapi telah terjadi. Badai tak akan pernah berlalu, hanya berhenti sesaat. Band sekaliber Slipknot, Slayer, The Black Dahlia Murder, Suffocation, Cannibal Corpse, Napalm Death, Misfits, Iron Maiden, Black Sabbath, The Cure, Pink Floyd, sampai band skena lokal seperti Jasad, Sore, Burgerkill, Homogenic juga pernah ganti personil yang notabenenya adalah founder band tersebut. Ada yang dikemudian hari balik lagi, ada yang engga.

Fenomena ini mengingatkan kita pada Siksakubur yang juga kerap ditinggalkan para personilnya. Apakah yang dialami Deadsquad serupa dengan yang dialami oleh Siksakubur?

Serupa tapi gak sama-sama banget mungkin ya. Gak cuma SK (Siksakubur) doang, banyak band lain yang mengalami kejadian tak menyenangkan seperti ini. Contohnya The Misfits yang ditinggalkan frontman dan otak mereka Glenn Danzig, walaupun belum lama ini Danzig reunian dengan Misfits setelah cukup lama bersolo karir. Napalm Death adalah contoh konkret band yang personil aslinya udah gak ada.

Dari fenomena tersebut, sikap dan treatment apa saja yang dibutuhkan oleh seorang personil untuk menjaga keutuhan bandnya?

Gue jarang keluar dari band sih, tapi pada akhirnya band-band gue terdahulu hilang ditelan kesibukan, contohnya kayak dulu waktu sama Perfect Enemy atau Alprakaliptik. Jadi gak relevan gue menjawab pertanyaan ini karena biasanya gue ngeband sampai titik akhir dari band tersebut. Contohnya Abolish Conception yang saya bentuk dari 2002, hidup segan tapi gak mati-mati. 

Stevi Item adalah satu-satunya personil orisinal yang bertahan dalam Deadsquad, begitu pula dengan Andre Tiranda dalam Siksakubur, atau Eben dalam Burgerkill. Bagaimana pandangan anda mengenai kata 'leader' dalam sebuah band?

Ya leader dalam suatu band itu cukup perlu, karena di tiap band, personil punya peran masing-masing. Kelas di sekolah aja ada ketua kelasnya, bro. Hehehe. Saya contoh leader yang buruk di Abolish Conception hingga akhirnya band tersebut belum ada album sampai saat ini, hahaha. Tapi tetap latihan minimal satu semester sekali dan tetap menyenangkan ngeband bareng teman-teman seangkatan dari SD - SMP. Mungkin ada saatnya Abolish Conception mengeluarkan rilisan fisik. Leader band yang canggih menurut gue adalah Billie Joe Armstrong (Green Day), bandnya tetap produktif dan personilnya gak pernah ganti. Selain dia, Dave Grohl dan Damon Albarn adalah leader yang sangat keren di mata saya, dengan berbagai band lainnya dan project kolaborasi yang bermuara dengan album, mereka tetap bisa menghasilkan karya yang bagus dengan band utama mereka, dan mereka tahu kapan untuk rehat sejenak melakukan project lain demi mengatasi kejenuhan dengan band utama mereka, lalu kembali dengan ide-ide segar dan cemerlang.

Andyan Gorust dan Alan Musyfia kini berada dalam satu band, yaitu Hellcrust. Dan dibawah label yang anda dirikan Alaium Records, anda akan merilis album kedua mereka dalam format kaset. Bagaimana anda dapat tertarik dengan Hellcrust?

Ya, Alaium hanya merilis album dari band yang saya suka doang, dan kalo bandnya mau diajak kerjasama dan gak ribet, saya rilis. Se-simple itu sih. Japra adalah salah satu sosok vokalis yang influential buat saya. Andyan dan Alan adalah salah dua mitra band terbaik yang pernah saya punya dan saya menyukai konsep dan materi Kalamaut (album perdana Hellcrust). Segala karya mereka mendapat apresiasi baik dan dukungan tulus dari saya sebagaimana mereka mendukung saya melanjutkan Deadsquad dan memulai !B! (!BERBAHAYA!). Alan sebelum di Deadsquad memang bagian dari Hellcrust, makanya gue heran orang banyak yg mengira dia ninggalin Deadsquad, terus masuk Hellcrust. Padahal dia di Deadsquad itu ditarik dari Hellcrust.

Siksakubur, Deadsquad, dan Hellcrust akan sepanggung dalam pergelaran Bekasi Bawah Tanah pada 1 April mendatang. Ketiga band tersebut secara unik saling berkaitan. Apakah ada semacam persaingan di dalamnya, atau justru kalian akan saling berkolaborasi?

Gue udah gak suka sepak bola karena faktor persaingan buta antar klub dan fansnya, dan bagi gue, seni berbeda dengan olahraga. Gue pribadi tidak merasa ada persaingan, sebagai bagian dari scene dan penikmat musik, gue malah senang kalo ada band yang menghasilkan album yang bagus menurut gue, dan itu menjadi trigger/motivasi, kadang sekaligus menginpirasi karya-karya gue. Gue sangat senang berkolaborasi dengan band yang gue suka, tapi kayaknya tanggal 1 nanti gak ada kolaborasi. Tapi kalo Siksakubur atau Hellcrust mengajak saya kolaborasi, saya tak akan menolak selagi waktu saya ada. Gue malah kepikiran di masa yang akan datang, Deadsquad bikin split album sama Hellcrust, judulnya "Deadcrust!". plesetan dari album pertama Mayhem, Death Crush!

Selain Deadsquad, anda memiliki berbagai macam proyek musik lain seperti Die Roboter, !BERBAHAYA!, Bisinggama, dsb. Bagaimana anda dapat mengatur waktu? Apakah Deadsquad berada pada posisi teratas dalam skala prioritas anda?

Semua band saya, dimana saya sedang menjalankannya, adalah prioritas saya. Ketika Die Roboter harus melakukan suatu "performing arts", maka prioritas saya Die Roboter. Misalnya ketika Deadsquad mau tur atau menyiapkan materi dengan formasi baru, prioritas saya Deadsquad. Ketika !BERBAHAYA akan merilis MLP (bukan mini album bukan full album) perdana, maka prioritas saya adalah !BERBAHAYA!. Ketika hasrat saya akan musik shoegaze dan noise harus disalurkan, maka prioritas saya Bisinggama. Semua tergantung sikon-nya dan semua bisa dikondisikan selama ada passion! Saya rasa banyak musisi dengan mindset yang seperti saya di berbagai belahan benua lain, atau mungkin di kota yang sama.

Anda dan Stevi Item merupakan dua personil terakhir yang tersisa dalam formasi Horror Vision, debut album Deadsquad. Apa yang kalian diskusikan mengenai kelanjutan Deadsquad?

Gue udah punya rencana EP untuk Deadsquad dengan formasi terbaru. Konsep EP-nya udah gue tulis di notes gue, dan gue sudah kasih ke Tepi (Stevi Item), dia juga setuju dengan konsep yang gue buat. k Karena Deadsquad juga belum pernah membuat EP, mungkin sekarang saat yang tepat untuk membuat mini album dengan formasi baru nanti. Konsep artwork dan judul lagu baru sudah ada dikepala saya, tinggal menunggu untuk diaplikasikan saja.


Siapa saja kandidat yang memungkinkan untuk mengisi posisi-posisi kosong di Deadsquad?

Gue sih kalo drummer terang-terangan aja secara subjektif, gue sreg sama Akbar dari Revenge/Kief karena memang sudah lama kenal sama dia dan secara kapasitas sudah teruji, dan seleranya juga luas dan nyambung sama gue, dan yang pasti kita tumbuh di scene yang sama dengan era yang hampir sama pula. Untuk bassist, mungkin bassist-nya !BERBAHAYA! (Bonny Sidharta) yang merupakan founder Deadsquad juga, tapi keputusannya balik lagi ke mereka. Gue cuma bisa berusaha dan berharap tidak bisa memaksa dengan cara Don Corleone, hahaha.

Bagaimana anda melihat Deadsquad dalam 10 tahun ke depan?

Harus tanya ke Suhu Yo kayaknya jawabannya, hahaha. Karena banyak hal tak terduga, baik itu hal baik dan buruk yang akan dilalui suatu band. Yang pasti kalau Deadsquad, akan tetap death metal musiknya. Tetap ngebut dan teknikal karena itu adalah trademark band ini, dan benang merah materinya masih tetap dari Horror Vision atau tur dan bikin album dengan formasi era Horror Vision juga mungkin. Selama masih bernyawa, kemungkinan-kemungkinan bisa menjadi nubuat/kenyataan. Kalau buat karir musikal diri gue sendiri, gue sedikit bisa menerawang mungkin 10 tahun lagi skill saya untuk menjadi gitaris band ska gelombang kedua (1979), sudah cukup mumpuni dan akhirnya kesampain punya band ska ala rilisan 2 Tone Records seperti The Specials. Outfit dan gitarnya sudah saya siapkan dari sekarang, tapi skill-nya belum ada, hahaha. Mungkin juga saya akan menjadi musisi avantgarde seperti Merzbow dengan banyak kolaborasi dengan band-band keren yang saya suka di 10 tahun yang akan datang. Bisa juga menjadi lebih produktif dengan berkarya melalui project personal ambisius saya, Bisinggama, menghasilkan album dengan komposisi dan chord yang simple dengan sound yang kompleks. Bisa juga satu dekade lagi tur antariksa bersama Die Roboter!

Friday, March 3, 2017

Antara Idola dan Role Model

Pada umumnya setiap manusia yang hidup dalam peradaban modern memiliki idola. Namun apakah idola bermakna sama dengan role model atau model peran?

Saya tidak akan menggunakan kutipan dari KBBI atau kamus lainnya, melainkan saya mencoba menerjemahkannya sendiri. Idola adalah subjek maupun objek yang dikagumi dan dipuja oleh individu atas penampilannya secara fisik, maupun atas kemampuannya dalam melakukan sesuatu. Sementara role model adalah subjek yang memiliki nilai-nilai dalam perilaku dan pemikiran yang dijadikan sebagai suatu acuan bagi individu.

Dalam tulisan saya yang berjudul Segerombol Konformis yang Latah dan Imitatif, saya mencoba memotret fenomena sosial secara sarkastik dimana banyak sekali individu-individu yang memiliki preferensi buruk,  tidak selektif, dan cenderung 'asal-asalan' dalam menentukan idola dan role model sehingga menghasilkan predikat imitatif, latah, konformis, dan poser. Idola dan role model mereka pun silih berganti akibat kecenderungan mereka yang selalu membuntuti tren.

Saya memiliki banyak idola. Scarlett Johansson, Anna Kendrick, dan Emma Watson saya idolakan atas ketertarikan secara fisik. Joey Jordison, Mike Portnoy, dan Travis Barker saya idolakan atas dasar kemampuan mereka dalam bermain drum. Rivers Cuomo, Matt Skiba, Dave Grohl dan Tom DeLonge saya idolakan atas keterampilan mereka sebagai pencipta lagu. Stephen King, Dan Brown, dan J.K. Rowling saya idolakan atas kemampuan mereka dalam menulis. Bung Karno, Fidel Castro, dan Mikhail Gorbachev saya idolakan atas gaya kepemimpinan mereka. Semuanya didasari atas penampilan fisik dan kemampuan dalam bidang mereka masing-masing.

Di antara idola-idola tersebut, hanya satu orang yang cukup relatable hingga saya jadikan seorang role model, yaitu Matt Skiba.


Saya telah menjadi seorang penggemar Matt Skiba jauh sebelum ia bergabung dengan blink-182. Ketika SMA, saya mendengarkan band-band hardcore punk and extreme metal, hingga suatu saat saya terdorong untuk eksplorasi ke berbagai genre, dari mulai punk rock, alternative rock, hingga fusion jazz. Dari sejumlah band yang saya 'buru' via YouTube, tiga band yang paling menarik perhatian saya dengan genre yang berbeda, yaitu Alkaline Trio (punk rock), Weezer (alternative rock), dan Chick Corea Elektric Band (fusion jazz).

Lagu dari Alkaline Trio yang pertama kali saya dengarkan, dan hingga saat ini masih menjadi favorit saya, adalah "Armageddon" dari album From Here to Infirmary yang dirilis pada 2001 silam. Secara musikal, Alkaline Trio mendongkrak adrenalin saya dan mengingatkan saya pada 'nyawa' dari band-band punk rock 80-an seperti Misfits dan Social Distortion, namun dengan sound yang lebih modern dan melodius. Secara lirikal, elemen horror punk sangat terasa kuat dengan tema-tema yang gelap, edgy, dan emosional di saat yang bersamaan.

Semenjak itu, saya mulai rajin browsing mengenai segala sesuatu tentang Alkaline Trio melalui internet dan menemukan bahwa orang dibalik lirik-lirik gelap Alkaline Trio adalah sang lokomotif Matt Skiba sebagai vokalis/gitaris. Dan saya mulai menggali internet lebih dalam, dengan fokus pencarian lebih spesifik, yaitu mengenai siapa sebenarnya Matt Skiba.

Setelah browsing secara intensif, saya menemukan beberapa hal menarik mengenai Matt Skiba:

1. Mengejar passion-nya
Masa remaja Matt Skiba adalah sebagai seorang anak punk rock dengan hobi bermain skateboard di kawasan Chicago, Amerika Serikat, yang memiliki ketertarikan terhadap dunia seni. Ia kemudian berkuliah jurusan Desain di Columbia College dan menyadari bahwa apabila ia menjadi seorang desainer profesional, maka ia harus berhadapan dengan komputer selama delapan jam sehari dan ia tidak menyukai hal tersebut.

Pada dasarnya, ia membenci desk job. Maka dengan tekad yang kuat, ia mengorbankan pendidikannya dan mulai berjuang mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang punk rocker profesional. Pada 1996, ia membentuk sebuah band bernama Alkaline Trio dan bertanggung jawab atas pilihannya dengan mulai bekerja sebagai kurir sepeda, mengantarkan berbagai surat dan paket ke seluruh Chicago dengan menggunakan sebuah sepeda, hingga tak jarang pula ia tertabrak mobil ketika sedang bertugas.

Perlahan-lahan, panggung demi panggung,
Alkaline Trio mendapatkan kontrak rekaman dengan label Asian Man Records milik Mike Park, dan dalam hitungan tahun, Alkaline Trio pada akhirnya dapat menjadi sumber penghidupan Skiba secara finansial. Ya, memang betul adanya bahwa Amerika Serikat berbeda dengan Indonesia secara demografis, sosiologis, politik, dan lain sebagainya, namun pengalaman Skiba cukup inspiratif bagi kita semua untuk berani 'banting setir' demi mewujudkan impian.

2. Seorang  freak yang sukses.
Jika diperhatikan dari cara ia berperilaku, berpakaian, berbicara, dan menulis lirik, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa Skiba adalah seorang yang eksentrik dan aneh. Namun ia membuktikan bahwa ia berhasil stand out dan melakukan apa yang ia cintai sehingga ia dapat menjalankan kehidupan yang ia impikan. Hidupnya tidak terpaku pada alarm, ia bebas dari jeratan bos dan korporat, melainkan dalam kesehariannya ia dapat menjalankan hobinya sebagai pekerjaan; menulis lirik, menciptakan lagu, dan manggung di berbagai tempat. Atas konsistensi dan attitude yang baik, ia dipercaya untuk menggantikan Tom DeLonge di blink-182 yang merupakan salah satu band pop punk paling populer di planet ini. Bahkan debut albumnya bersama blink-182 yang berjudul "California" berhasil mendapatkan sebuah nominasi dalam Grammy Awards, yang sebelumnya belum pernah didapatkan oleh blink-182.

3. Bernyali tinggi.
Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa rasa takut adalah produk dari ego dan merupakan emosi yang tidak penting. Dia tidak takut dengan apapun kecuali rasa takut itu sendiri, dan memang benar. Ia bercerita bahwa mantan istrinya gemar membaca berbagai majalah, dan di salah satunya terdapat kuis mengenai rasa takut dengan pertanyaan-pertanyaan seperti; apakah anda takut dengan hiu? Tidak, dia pernah menyelam bersama hiu putih di Afrika Selatan. Apakah anda takut dengan ketinggian? Tidak, terjun payung adalah salah satu hobinya. Apakah anda takut dengan kematian? Tidak, karena tidak dapat dihindarkan. Apakah anda takut dengan kecelakaan pesawat? Tidak, karena ia dan mantan istrinya pernah hampir tewas akibat pesawat yang ia tumpangi menuju New York menabrak permukaan air, dan saat itu ia benar-benar merasa rileks menerima kematiannya. Namun takdir berkata lain, ia dan mantan istrinya selamat dari maut. Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa keberanian Skiba setingkat lebih tinggi di atas keberanian manusia pada umumnya.

4. Menjaga kesehatan mental dan fisik.
Skiba adalah seorang praktisi Transcendental Meditation, sebuah teknik meditasi asal India yang dipopulerkan di Amerika Serikat oleh David Lynch, yang notabene adalah penulis dan sutradara favoritnya. Menurutnya, meditasi tersebut membuat pikirannya menjadi jernih dan tenang dan hal tersebut sangat membantunya dalam proses kreatifnya sebagai musisi dan seniman lukis.

Ia pun menjaga kesehatan fisiknya dengan baik dengan berlari sepanjang 5 mil sehari dan menjadi seorang vegan. Baginya, daging bukanlah sesuatu yang layak untuk dikonsumsi karena ia menganggap daging adalah bagian dari dirinya. Skiba memang pernah terjerumus dalam narkotika, namun ia sudah lama berhenti menggunakan substansi tersebut dan kini ia menjaga dirinya agar selalu sober.

5. Memiliki attitude positif.
Walaupun seorang 'pemberontak', dalam sebuah wawancara ia berkata bahwa menurut Ibunya, Skiba adalah seorang anak yang memiliki emosi yang sangat peka. Ia bahkan menangis ketika melihat seorang anak dengan kondisi down syndrome. Ia pun bersikap sangat menghormati setiap individu, terutama wanita sebab menurut rekan-rekan bandnya ia selalu menjaga diri dari seks bebas, walaupun sebagai seorang bintang rock banyak sekali wanita yang rela mempersembahkan sekujur tubuh mereka kepadanya.

6. Seorang seniman sejati.
Dikenal sebagai musisi, Skiba pun memiliki kemampuan artistik lainnya yaitu melukis. Bahkan dari pos-pos Instagram-nya, lukisan Skiba dipamerkan dan diperjual-belikan. Selain itu, ia juga memiliki kemampuan sastrawi yang baik. Lihat saja lirik-lirik ciptaannya di Alkaline Trio. Bahkan Mark Hoppus sang pembetot bas di blink-182 sampai memujinya sebagai seorang penyair murni.

Hampir semua idola saya memiliki nilai-nilai khusus. Walaupun tidak semuanya saya golongkan sebagai role model seperti Matt Skiba. Rivers Cuomo dari Weezer, cukup inspiratif walaupun bertolak belakang dengan Skiba, ia nekad mendaftarkan diri sebagai mahasiswa Harvard University di tengah popularitas Weezer yang sedang memuncak. Demi pendidikan, ia berusaha me-manage waktu antara Weezer dan perkuliahannya. Ia menghabiskan waktu 11 tahun, sejak ia berusia 25 hingga 36 tahun, hingga akhirnya ia menyandang Sarjana Bahasa Inggris jebolan Harvard.

Tom DeLonge pun cukup saya apresiasi dengan tekad mengejar passion-nya sebagai peneliti UFO walaupun pada akhirnya membuat blink-182 sempat terbengkalai. Begitu pula dengan Dave Grohl yang berhasil mempertahankan kesuksesan karir musiknya dengan Foo Fighters pasca bubarnya Nirvana akibat kematian Kurt Cobain.

Dapat disimpulkan bahwa popularitas harus disertai tanggung jawab yang baik. Ketika seseorang mendapatkan popularitas, ia bukan hanya berpotensi menjadi seorang idola, namun juga seorang role model. Jika ia memiliki keinginan untuk sekaligus menjadi seorang agent of change, maka ia pun harus berusaha menunjukkan sikap dan perilaku yang berpotensi menciptakan perubahan progresif. Kecuali jika memang dari awal berniat untuk menghancurkan masyarakat beserta moralnya, ya silahkan saja asal bersedia menerima kritik bertubi-tubi.

Anda bebas dalam menentukan siapa dan berapa banyak idola kita, namun dalam hal penentuan role model, dibutuhkan seleksi, pertimbangan, atau bahkan riset semampunya melalui internet, literatur, atau apapun itu. Dengan begitu, anda tidak akan merasa menderita akibat terlalu memaksakan diri dalam mengimitasi seorang tokoh/selebriti yang sedang populer hanya karena anda ingin menyandang predikat 'gaul'.

Jika anda menjadikan si A sebagai role model atas pertimbangan gaya berpakaian yang menurut anda keren, yang anda dapatkan hanyalah pemborosan uang akibat terus-menerus membeli pakaian agar dapat mengimitasi fashion si A. Jika anda menjadikan si B sebagai role model anda atas dasar ketertarikan anda terhadap gaya hidupnya yang hedonistik dan glamor, ya berhentilah mengeluh dan mulai bekerja keras agar dapat mengimitasi gaya hidup si B.

Di era serba demokratis seperti saat ini, kita memiliki preferensi yang tidak terbatas dalam mengambil keputusan dan menentukan pilihan. Seperti anda yang selalu berpikir "Suka-suka gue dong mau niru siapa aja, hidup-hidup gue." setiap kali membaca kritik sosial yang saya tuangkan dalam blog ini. Begitu pula dengan saya. Suka-suka gue dong, mau kritik apa juga, blog-blog gue.

Yang disayangkan adalah mereka yang berdiam diri, tenggelam dalam rasa muak akan busuknya perilaku sosial dari individu-individu di sekitar. Ingatlah bahwa sekecil apapun hal yang kita lakukan akan berdampak bagi perubahan sosial ke arah yang kita inginkan.

Thursday, February 23, 2017

Selamat Ulang Tahun, Anggi Ginara.

Anggi Ginara
(23 Februari 1998 - 11 Januari 2017)

Januari 2017 adalah awal tahun yang tergelap dalam hidup saya. Saya percaya dengan takdir, namun tahun ini diawali dengan tragedi-tragedi yang bagi saya, secara psikologis, berdampak cukup destruktif.

Baru saja mencapai hari kesebelas, 2017 sudah mengguncang mental saya dengan sebuah kabar menyedihkan. Di tengah tekanan dalam menghadapi UAS, ketika baru saja menginjakkan kaki di rumah, saya mendapatkan sebuah pesan LINE dari seorang kawan satu band saya di era SMA yang bernama Tedy. Sebuah kalimat singkat yang terdiri dari tiga buah kata:


Sebuah kalimat yang hingga detik ini masih kerap terlintas di benak saya menjelang tidur. Saya sempat terdiam sejenak, berusaha untuk mencerna pesan yang baru saja menerpa saya. Anggi Ginara, seorang kawan satu band saya di Blessed of Curse sejak 2012 yang telah berbagi lika-liku pengalaman manis dan pahitnya berjuang untuk sebuah band, telah meninggal dunia di hari itu akibat kecelakaan motor. Akibat shock, saya sempat bertanya-tanya apakah ini benar-benar sedang terjadi, atau hanya sebuah mimpi buruk di sore hari.

Menurut kabar yang disampaikan Tedy, Anggi sedang terburu-buru untuk menghadiri UAS dan mengalami kecelakaan tunggal di kawasan Lenteng Agung, hanya beberapa meter lagi untuk dapat tiba di kampusnya Universitas Pancasila. Saya membuka profil Instagram almarhum dan mengecek tag-tag fotonya. Empat atau lima tag foto terakhir merupakan kabar duka atas kematiannya. Di saat yang bersamaan, sebuah DM masuk ke akun Instagram saya yang berasal dari Aldo, yang juga merupakan anggota dari Blessed of Curse.



Sebuah kalimat yang sama seperti yang dikirimkan oleh Tedy via LINE. Beberapa detik kemudian, kawan saya Agatha mem-post foto memorial dengan sebagian caption yang bertuliskan "R.I.P Anggi Ginara". Dengan dua buah kabar buruk dan cross-check singkat melalui Instagram, saya telah cukup yakin bahwa ini benar-benar sedang terjadi. Saya menyampaikan kabar duka tersebut kepada Bagus, seorang kawan di band saya yang lain (Hatred) yang juga merupakan kawan almarhum yang sama-sama terlibat dalam dinamika perkembangan scene musik bawah tanah di Cileungsi. Dan Bagus memiliki reaksi yang serupa; terkejut, sedih, dan setengah tidak percaya.

Saya bergegas mengenakan baju koko dan celana jins untuk segera menuju rumah duka dan ketika itu hujan lebat sedang mengguyur. Waktu menunjukkan hampir pukul 6 sore dan Tedy belum mengetahui informasi terkait kapan dan di mana almarhum akan dimakamkan. Namun kemudian diketahui bahwa pemakamannya akan diadakan keesokan paginya di TPU Tlajung Udik, Bogor.

Sebuah pertimbangan muncul di benak saya bahwa apabila pada malam itu saya berangkat dari Pondok Kopi menuju rumah duka di Cileungsi, maka kemungkinannya adalah saya tidak dapat menghadiri pemakaman keesokan paginya. Dan saya bersikeras untuk dapat menghadiri pemakaman tersebut. Mengingat pukul 7 pagi saya masih harus menjalankan UAS, maka di malam itu tak ada yang bisa saya lakukan kecuali merencanakan perjalanan untuk esok hari dari kampus saya di Senayan menuju TPU Tlajung Udik, dan berdoa yang terbaik untuk almarhum.

Malam itu tidak berjalan seperti biasanya. Seisi kepala saya dipenuhi oleh kenyataan bahwa Anggi telah meninggal dunia di usianya yang belum mencapai 19 tahun. Saya mencolokkan earphone di ponsel saya dan memutar sebuah lagu yang kami rilis empat tahun lalu:



Ketika lagu tersebut berkumandang di kedua telinga saya, dampak emosional yang diberikan membuat saya tak kuasa menahan kesedihan dan duka mendalam, serta berhasil menghidupkan serangkaian memori-memori yang pernah kami alami selama bertahun-tahun.

Di malam itu pula, saya kehilangan sebagian besar fokus hingga saya cukup sulit untuk diajak bicara dan memahami apa yang sedang dikatakan oleh orang-orang sekitar. Saya tidak perduli lagi dengan belajar untuk mempersiapkan UAS di esok hari. Saya mematikan ponsel dan mengurung diri di kamar, berusaha untuk memulihkan jiwa dari 'hantaman keras' yang saya dapatkan beberapa jam lalu. Jika biasanya saya adalah orang yang mudah tertidur, malam itu sungguh berbeda. Saya hanya berbaring dan menatap plafon dengan kesadaran penuh dan pikiran yang mengawang-awang.

***

Pada pukul 8:30 pagi saya menyerahkan kertas ujian kepada dosen pengawas dan bergegas menuju halte di depan Ratu Plaza. Tedy memberikan kabar bahwa ketika itu jenazah almarhum sedang akan disolatkan dan akan dimakamkan pukul 10:00. Saya hanya berharap Tuhan mengizinkan saya dengan melancarkan perjalanan agar dapat menghadiri pemakaman  dan memberikan penghormatan terakhir untuk almarhum. Tak selang beberapa menit, bus APTB jurusan Blok M - Cileungsi melintas dan saya menaikinya.

Ajaibnya, meskipun sama sekali tanpa tidur di malam hari, saya tidak merasakan kantuk, melainkan hanya lemas dan mental yang tertekan akibat lamunan tanpa henti. Di dalam bus saya tidak dapat mengendalikan diri dari mencari informasi mengenai tragedi yang terjadi kurang dari 24 jam lalu dan saya menemukan sebuah berita dari situs detik.com dengan judul Pengendara Motor Ninja Tewas Akibat Kecelakaan di Depan Stasiun UP.

Tak terasa, kurang dari 45 menit bus APTB yang saya tumpangi tiba di tujuan. Alhamdulillah, Tuhan menjadikan lalu-lintas di saat itu sangat bersahabat. Saya bertemu Bagus di perempatan Nagrak dan kami menuju TPU Tlajung Udik dengan jarak sekitar 8 kilometer. Di perjalanan saya bercakap-cakap dengan Bagus dan saya yakin ia sama terkejutnya dengan saya ketika mendengar kabar kematian Anggi. Pasalnya, sehari sebelum kematiannya, Anggi mengunjungi tempat kerja Bagus di McDonald's untuk membeli sarapan bersama sang ayah. Ia menjabat tangan Bagus dan berkata "Gue kangen suara lo, Gus." kepada Bagus yang notabene adalah seorang vokalis hardcore. Dan di luar ekspektasi siapapun, momen tersebut menjadi pertemuan terakhir di antara dua orang kawan.

Sekitar pukul 10:30 kami tiba di Tlajung Udik, sebuah tempat pemakaman umum di kaki perbukitan kawasan Citeureup, Bogor, Jawa Barat. Mobil jenazah sudah terparkir bersama dengan mobil-mobil pelayat. Gerbang pemakaman dipenuhi oleh berbagai macam karangan bunga dan ketika kami memasuki kompleks pemakaman, terlihat sekitar lebih dari seratus orang yang membludak dalam duka dengan tujuan melihat seorang Anggi Ardana Noor Islami Kosasih untuk yang terakhir kalinya.


Seiring dengan taburan bunga dan doa-doa yang berkumandang, pikiran saya mengawang kembali ke tahun 2012, tentang bagaimana saya dapat mengisi lima tahun terakhir dari hidup seorang Anggi Ginara. Ketika itu saya masih duduk di bangku SMA, bersama dengan Bagus, Agatha (kawan di band hardcore saya, Hatred), dan Jerry yang ketika itu memiliki sebuah band deathcore bernama Blessed of Curse dengan teman-teman perumahannya di Pondok Damai, Cileungsi. Perbincangan kami di waktu istirahat adalah segala sesuatu tentang musik bawah tanah. Hingga suatu saat saya tertarik untuk memiliki sebuah band deathcore dan Jerry adalah satu-satunya siswa yang merupakan seorang vokalis yang tergabung dalam sebuah band deathcore. Maka saya mengajaknya untuk membentuk sebuah band baru, namun pada akhirnya justru saya direkrut sebagai drummer untuk bandnya Blessed of Curse.

Kami sepakat untuk berlatih pada suatu malam, setelah sesi latihan saya bersama Hatred di sebuah studio musik yang bernama PNF Studio. Di malam itu Jerry mengenalkan saya dengan rekan-rekan band yang lain; Aldo, Tedy, dan Anggi. Ketika itu kami semua masih berusia belasan tahun. Tedy 17 tahun, Jerry 16 tahun, saya dan Aldo 15 tahun, dan Anggi 14 tahun. Almarhum adalah yang termuda dan paling berbakat. Ia menguasai tiga jenis instrumen musik, yaitu bass, gitar, dan drum ketika masih duduk di bangku SMP.

Setelah beberapa kali berlatih, pada November 2012 kami melakukan sesi photoshoot perdana di kawasan perumahan Legenda Wisata, Cibubur.

(Kiri-kanan) Saya, Tedy, Jerry, Anggi, dan Aldo.
Sebulan kemudian, kami mendapatkan panggung pertama kami di Studio Mazaya, Pondok Gede bersama dengan Hatred. Panggung-panggung berikutnya pun kami dapatkan di berbagai venue di wilayah Bogor, Bekasi, dan Jakarta Timur dengan berbagai macam perjuangan dari mulai menabung bersama untuk biaya registrasi, bermotor hujan-hujanan, melewati banjir, hingga meneduh setiap beberapa meter di berbagai warung kopi lengkap dengan tas-tas berisi instrumen musik yang kami bawa.

Dua momen antara saya dengan almarhum yang sungguh pilu jika saya memikirkannya adalah ketika sesi rekaman lagu "Resah" dan di perjalanan pulang pasca manggung di Cibinong ketika saya diboncengi oleh almarhum. Di tahun 2013 kami merekam lagu tersebut dimulai dari sore hari hingga tengah malam. Sekitar pukul 7 malam, saya dan almarhum keluar untuk membeli suplai nasi goreng. Kami makan di sebuah tenda nasi goreng di pinggir jalan kawasan Cibinong dan membungkus tiga porsi untuk Jerry, Aldo, dan Tedy. Sambil menyantap nasi goreng di tempat itu, kami curhat mengenai permasalahan personal dan keluarga. Kami bertukar cerita dan berdiskusi secara mendalam terkait masalah-masalah tersebut. Saya merasa cukup beruntung untuk sempat menghabiskan waktu secara personal seperti itu dengan almarhum.

Yang kedua adalah di sore hari, ketika almarhum memboncengi saya dalam perjalanan pulang lengkap dengan dua tas berisi bass dan double pedal pasca manggung di Gedung KNPI Cibinong. Topik diskusi kami saat itu adalah mengenai masa depan dan berapa lama Blessed of Curse akan bertahan ketika kami semua sudah berkuliah dan bekerja. Ia menanyakan apa yang saya akan lakukan setelah lulus SMA. Saya berkata bahwa saya akan berkuliah di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Ia pun berkata bahwa ia akan berkuliah di Fakultas Hukum Universitas Pancasila, yang berarti ia akan menjadi junior ayah saya, karena ayah saya adalah alumni FHUP.

Kemudian ia bercerita mengenai berbagai cita-citanya, bahwa suatu hari ia akan menjadi seorang sarjana hukum dan mendapatkan sebuah pekerjaan yang mapan, bahwa ia akan mengendarai sebuah mobil ke kampusnya, bahwa ia akan menikah dan memiliki anak, dan lain sebagainya. Namun rupanya Tuhan memberikan takdir lain dan mengingat percakapan tersebut membuat saya sangat pilu hingga detik ini.

Singkat cerita, setelah lulus SMA di 2014, saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari Blessed of Curse dan dua band lainnya (Kraken dan Dead Ceremony) dikarenakan saya harus pindah ke rumah nenek saya agar lebih dekat menuju kampus saya di Hang Lekir, Senayan. Hatred pun mengalami hiatus. Saya hanya dapat pulang ke Cileungsi dengan frekuensi sebulan sekali dan sangat singkat akibat tugas perkuliahan yang cukup banyak.

Pada awal 2015, saya mengajak Anggi, Agatha, dan Bagus untuk membentuk sebuah band punk rock, namun kami hanya sekali bertemu untuk menggarap sebuah lagu di rumah Bagus dan proyek tersebut pun terkubur oleh kesibukan kami masing-masing. Ironisnya di awal 2015 tersebut merupakan terakhir kalinya saya bertemu dengan almarhum, dan dua tahun kemudian saya kembali bertemu dengannya, namun dengan situasi yang berbeda, yaitu menghadiri pemakamannya.

Beberapa minggu sebelum kematiannya, almarhum sempat mengirimkan saya sebuah pesan melalui kolom komentar di sebuah foto saya di Instagram:


Saya mengirim QR Code akun LINE saya kepadanya melalui DM, namun entah mengapa ia tak kunjung mengirimkan saya pesan melalui LINE hingga ia meninggal dunia beberapa minggu setelahnya.

Tak selang beberapa minggu setelah kematiannya, saya kembali mendapatkan kabar duka yang datang dari ayah dari pemain bass saya di Toilet Surfers, Fikra Putra, yang juga meninggal dunia. Januari 2017 benar-benar gelap bagi saya. Dua kabar duka dari orang-orang sekitar cukup membuat saya terguncang secara psikologis. Saya berdoa yang terbaik untuk mereka yang telah tiada, dan biarkan ini menjadi penempa mental saya untuk menghadapi hari-hari selanjutnya di kehidupan ini.

Hari ini, 23 Februari merupakan hari ulang tahun almarhum. Terasa ironis dan sangat menyedihkan ketika kita mengingat bahwa hari ini adalah hari kelahiran dari seseorang yang telah tiada. Namun Insya Allah saya yakin dan terus berdoa bahwa saat ini Anggi Ginara sedang berbahagia di sebuah tempat yang sangat indah, yang masih menjadi misteri bagi kita semua yang masih hidup.

Nggi, now your birthday might be ironic and mentally-painful to all of us, but we all are sure you've got your eternal happiness. We all miss you, forever and after.

Thursday, February 16, 2017

Terwujudnya Mimpi Analog


Ketika saya masih kelas 2 SMA di tahun 2012 silam, saya menyadari bahwa ternyata di era modern yang serba digital ini, hampir seluruh musisi internasional masih merilis karya mereka dalam format piringan hitam atau vinyl. Di sekitar periode itu pula, sedikit demi sedikit pecinta musik tanah air mulai beralih dari format digital, kembali ke format analog.

Sebelumnya, mari kita bahas bagaimana perbedaan format analog dan digital. Hingga saat ini, cukup banyak jumlah masyarakat awam yang belum mengetahui perbedaan tersebut sehingga preferensi mereka terhadap format digital belum juga tergoyah.

Secara input, dalam proses merekam musik secara analog, media penyimpanan yang digunakan adalah pita. Mixer yang digunakan pun benar-benar mixer fisik yang ukurannya cukup besar. Amplifier yang digunakan benar-benar head dan cabinet yang ditodong mikrofon. Tidak ada monitor komputer, tidak ada Pro Tools, tidak ada vst plugins, dan lain sebagainya.

Sementara itu, seperti yang sering kita jumpai saat ini, proses rekaman secara digital menggunakan komputer beserta monitor, software, plugins, bahkan amplifier yang digunakan pun bersifat digital. Dengan hanya bermodalkan sebuah PC, soundcard, dan mikrofon, sebuah karya musik dapat dihasilkan dengan mudah. Format output-nya pun berupa sekumpulan bahasa pemrograman komputer yang diolah menjadi sebuah file, yang kemudian dapat di-burn ke dalam sebuah CD.

Dengan segala kecanggihan sebuah software, proses rekaman secara digital membuat segalanya menjadi instan. Apabila suara sang penyanyi fals, dapat diperbaiki dengan autotune. Apabila tempo acak-acakan, bisa diperbaiki dengan proses quantizing. Berbeda dengan proses rekaman secara analog yang membutuhkan persiapan yang matang dan waktu yang cukup lama. Maka terdapat sebuah anekdot bahwa musisi yang eksis di era analog jauh lebih berkualitas karena ditempa oleh keterbatasan teknologi. Sebaliknya, musisi masa kini yang terlena dengan dimanja oleh teknologi digital membuat performa dan kualitas mereka prematur.

Secara output, memang format digital seperti file MP3 atau CD menghasilkan audio yang jernih dan minim noise. Namun mendengarkan sebuah lagu digital dan menyaksikan musisinya bermain secara live jelas berbeda, bukan? Nah, format analog mampu meng-capture 'nyawa' dari suara dan instrumen musik yang dimainkan beserta noise-nya sehingga output yang dihasilkan jauh lebih organik, dan pengalaman menyaksikan musisi secara live lebih bisa didapatkan oleh format analog seperti kaset atau vinyl.

Kendalanya terletak pada permasalahan praktis atau tidaknya. Format digital memang lebih mudah dinikmati kapan pun dan dimana pun tanpa harus membawa-bawa turntable, speaker, atau tape. Cukup dengan mengunduh, musik dapat dinikmati dengan diputar melalui ponsel, atau membeli CD dan diputar dengan CD player di mobil.

Sedangkan format analog cukup memakan ruang dan membutuhkan waktu khusus untuk menikmatinya. Biaya yang dibutuhkan pun cukup besar karena harga produk-produknya cukup mahal dan perawatannya pun cukup merepotkan. Belum lagi setiap sekitar 500 jam pemutaran, jarum yang terdapat di turntable harus diganti. Dan terdapat pula resiko scratch pada vinyl yang berakibat pemutaran yang skipping atau 'loncat-loncat'. Akibat sensitivitasnya yang tinggi, maka dibutuhkan penanganan yang ekstra hati-hati.

Namun jangan lupa, selain vinyl, kaset pun tergolong dalam format analog, walaupun kualitas dan detail yang diberikan tidak mampu bersaing dengan apa yang diberikan oleh sebuah vinyl.

Kembali ke pengalaman saya, di tahun 2014 ketika saya lulus dari SMA, saya mengunjungi Pasar Santa untuk melihat-lihat berbagai toko vinyl yang terdapat di sana. Ketertarikan saya terhadap vinyl memuncak ketika saya memasuki sebuah toko dan didalamnya, vinyl album Slipknot yang berjudul .5: The Gray Chapter sedang diputar. Dengan spesifikasi turntable, amplifier, dan speaker yang anyar, saya benar-benar merasakan bahwa Corey Taylor cs sedang manggung di depan mata saya. Hal tersebut menjadi turning point bahwa saya benar-benar harus segera meninggalkan format digital dan beralih ke format analog, khususnya vinyl.

Ketika itu, saya menetukan target bahwa di tahun 2015 saya harus sudah memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah turntable, speaker active, dan beberapa vinyl. Namun ketika itu, prioritasnya tergeser oleh kebutuhan band saya Toilet Surfers. Maka tabungan di tahun 2015 saya gunakan untuk membeli sebuah gitar akustik-elektrik dan sebuah combo amplifier untuk gitar. Target momentum peralihan menuju format analog pun terundur ke tahun 2016. Dengan tabungan yang minim dan keinginan yang menggebu-gebu, di tahun 2016 saya menjadikan kaset sebagai alternatif dalam menikmati format analog. Saya membeli berbagai kaset-kaset bekas di Blok M untuk dinikmati sekaligus dijual secara online. Di saat itulah saya memulai sebuah bisnis penjualan kaset dan merchandise band yang saya beri nama Pills Jakarta (sekarang sudah bangkrut). Namun di tahun 2016 pula, Alhamdulillah, Toilet Surfers mulai mendapatkan panggung dan memasuki dapur rekaman, sehingga prioritasnya pun lagi-lagi tergeser, oleh pembelian sebuah gitar elektrik Fender Stratocaster dan sebuah pedal efek distorsi Boss DS-1 dari hasil keuntungan Pills Jakarta.

Pasca perilisan single perdana Toilet Surfers yang berjudul Sick Weirdo pada Agustus 2016, saya kembali dapat menabung dan memantapkan hati bahwa 2017 harus menjadi tahun di mana setidaknya sebuah turntable dan beberapa vinyl harus sudah berada di kamar saya. Kebetulan kakek saya merupakan seorang kolektor vinyl dan memiliki beberapa turntable. Sebelumnya saya belum pernah mengutarakan keinginan saya untuk menjadi penikmat musik dengan format analog. Namun ketika itu saya mulai berkonsultasi kepada beliau dengan meminta saran dan rekomendasi sebagai referensi pembelian turntable dan vinyl di masa mendatang.

Beberapa kali beliau mengajak saya untuk melihat-lihat vinyl di Blok M, namun saya selalu tidak sempat akibat kesibukan kuliah dan mengurus band. Sesekalinya saya memiliki waktu luang untuk ke Blok M, kakek saya sedang ada pekerjaan di luar kota. Maka saya pergi sendiri dan menemukan sebuah belt-drive turntable bermerk Audio-Technica seri AT-LP60 yang rencananya akan saya beli ketika tabungan sudah mencukupi.

Pada 12 Februari 2017, tanpa disangka, kakek saya membelikan sebuah portable turntable bermerk Crosley seri Cruiser II dengan built-in speaker sehingga dapat langsung dinikmati tanpa harus membeli speaker aktif tambahan (walaupun sangat direkomendasikan). Beliau pun membelikan sebuah vinyl album Pinkerton dari salah satu band favorit saya sepanjang masa, Weezer. Jujur, mendengar kabar itu saya menjadi girang setengah mati.

Saya bergegas menuju sebuah toko bernama PHR (Piringan Hitam Records) di STC Senayan untuk mengambil barang yang telah dibelikan oleh kakek saya. Di toko itu pula saya bertemu dengan salah seorang paman saya yang ternyata juga merupakan seorang kolektor vinyl. Beliau berkata bahwa suatu saat ia akan memberikan sebagian koleksi vinyl-nya kepada saya. Kegirangan saya berlipat ganda. Secara kompulsif, saya hilang kendali dan hampir menguras seluruh tabungan saya untuk membeli dua buah vinyl tambahan yaitu album self-titled dari Misfits dan Enema of The State dari Blink-182. Keduanya saya beli dalam kondisi baru sehingga harganya cukup membuat saya kembali hidup ekstra hemat.

Sampai di rumah, vinyl Enema of The State dari Blink-182 lah yang pertama kali saya putar. Dan ketika track pertama "Dumpweed" mulai bergema, saya tergetar secara emosional oleh suara organik yang dihasilkan, yang berhasil memberikan saya pengalaman 'simulasi' menyaksikan Blink-182 secara langsung, yang selama ini belum pernah terwujud. Begitupula dengan album Pinkerton dari Weezer dan self-titled-nya Misfits yang menjadikan malam itu terasa seakan saya sedang berkomunikasi secara emosional dengan Tom DeLonge, Rivers Cuomo, Jerry Only, dan para personil lainnya dari Blink-182, Weezer, dan Misfits.

Walaupun saya merasa puas, namun akibat hanya mengandalkan built-in speaker dari Crosley Cruiser II, gain yang dihasilkan kurang maksimal. Saya mulai browsing berbagai situs jual-beli online untuk mengetahui kisaran harga speaker aktif dan ternyata rata-rata semuanya di atas Rp. 1.000.000. Saya cukup merasa frustrasi, mengingat sisa tabungan saya cukup tipis. Namun setelah memikirkan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk membeli sebuah multimedia speaker bermerk Microlab seri B56 seharga Rp. 175.000 rupiah dan sebuah kabel AUX - RCA agar dapat disambungkan ke turntable.


Cranked-up by Microlab B56
Alhamdulillah hasilnya tidak mengecewakan. Microlab B56 cukup berhasil meng-crank up gain yang dihasilkan oleh Crosley Cruiser II. Akibatnya beberapa hari belakangan ini, saya jarang sekali meninggalkan kamar. Setiap ada waktu luang selalu saya gunakan untuk memutar vinyl-vinyl tersebut. Terkadang saya bermain gitar dan bernyanyi mengiringi alunan gelombang analog. Bahkan ironisnya, karena terlalu sering diputar dan kurang hati-hati, terdapat skip atau loncatan selama sepersekian detik di lagu "Dumpweed" dan "Aliens Exist" pada vinyl Enema of The State. Namun saya tidak terlalu ambil pusing karena saya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari seni menikmati dan mengoleksi vinyl.

Kini saya mulai menjalankan hidup ekstra hemat agar dapat menabung lagi dengan target menambah enam buah vinyl yang setidaknya, mudah-mudahan, dapat saya beli satu per satu setiap bulan, yaitu album Slipknot - Iowa,  Black Flag - Damaged, Minor Threat - Out of Step, Beastie Boys - Check Your Head, Alkaline Trio - From Here to Infirmary, dan Blur - self-titled. Mudah-mudahan saja jarum dan cartridge yang saya miliki bertahan lama sehingga saya tidak perlu menggantinya dalam waktu dekat.

Memang dibutuhkan kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan dalam menjalankan sebuah hobi, terutama vinyling. Namun saya percaya bahwa semua itu berbanding lurus dengan kepuasan dan kebahagiaan jiwa yang didapatkan.

Wednesday, February 15, 2017

Hari Valentine: Sebuah Romantika Polemik

Dari sekian banyak ciri sosiologis masyarakat Indonesia, terdapat satu ciri yang baru saja saya sadari. Masyarakat Indonesia cenderung bersifat resisten. Pilar-pilar nilai dan norma yang mengakar kuat di dalam diri membuat kita memiliki kecenderungan untuk menolak, menentang, dan bertahan dari unsur-unsur kultural yang tidak sesuai dengan pilar-pilar tersebut.

Saya tidak menyalahkan bangsa saya sendiri, namun sebagai seorang individu yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, saya sering sekali menyaksikan peristiwa sosial ketika sekelompok masyarakat menghimbau dan melarang sesamanya, seperti melakukan pelarangan pengucapan selamat hari raya kepada umat agama lain, pelarangan penggunaan atribut agama lain, pencekalan film, hingga pelarangan perayaan Hari Valentine yang menurut saya merupakan sesuatu yang konyol dan sia-sia. Pencegahan seks bebas dan cultural mismatch menjadi dasar atas pelarangan perayaan Hari Valentine. Mari kita bedah satu per satu.

Pada Oktober 2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kementerian Kesehatan merilis sebuah hasil survei yang menunjukkan bahwa 62,7% remaja di Indonesia telah berhubungan seks pranikah, dan 21% di antaranya telah melakukan aborsi. Pertanyaannya adalah seberapa banyak dari remaja-remaja tersebut yang melakukan seks pranikah tepat di Hari Valentine? Mengapa penjualan kondom diperketat hanya secara periodik pada Hari Valentine saja? Saya rasa jika pihak otoritas benar-benar mengupayakan pencegahan seks bebas, alangkah baiknya penjualan kondom diperketat secara berkesinambungan.

Dari hal tersebut, kita mendapatkan satu lagi ciri sosiologis masyarakat Indonesia. Kita cenderung melakukan sesuatu secara periodik, pada waktu-waktu tertentu saja. Sweeping tempat maksiat umumnya dilakukan di bulan Ramadhan, pengamanan ekstra umumnya diberlakukan menjelang dan pada hari Natal, dan termasuk pula perihal razia kondom dalam rangka pelarangan perayaan Hari Valentine. Apakah mereka tidak sadar bahwa aksi-aksi periodik tersebut menimbulkan suatu pola? Dan saya cukup yakin pola tersebut dapat dipahami oleh para pelaku penyimpangan sosial dan justru membuat mereka menjadi lebih mahir untuk 'bermain cantik'.

Kemudian cultural mismatch atau ketidaksesuaian budaya dianggap menjadi dasar kedua atas pelarangan perayaan Hari Valentine. Kita dapat menyaksikan bahwa nilai-nilai agama menjadi landasan utama atas pembentukan kultur dan norma sosial bagi masyarakat Indonesia. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, memiliki sebuah dalil berupa hadis dimana Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR Abu Dawud, hasan).

Saya sedang tidak mencoba menjadi seorang penafsir hadis, namun saya rasa hal itu memuat konteks keimanan, bukan sosial. Umat Islam dilarang untuk menggunakan atribut agama lain dan memang betul adanya, sebab berdasarkan hadis tersebut apabila seorang muslim melakukannya, maka ia dianggap telah menjadi bagian dari umat agama lain. Namun saya rasa Hari Valentine bukanlah suatu gerakan religius, melainkan suatu gerakan sosial untuk menentang otoritas.

Kata valentine sendiri digunakan sebagai memorial atas seorang pendeta bernama Valentine. Pada abad ke-3 di era Romawi Kuno, Kaisar Claudius II berasumsi bahwa prajurit-prajurit yang belum menikah memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan mereka yang sudah berkeluarga. Maka ia melarang pernikahan di usia muda, dan Valentine merasakan ketidakadilan. Sebagai seorang pendeta, ia tetap bersikeras untuk menginisiasikan akad nikah bagi kalangan muda. Dianggap melanggar hukum, Emperor Claudius II melakukan hukuman pemenggalan kepala terhadap Valentine pada tanggal 14 Februari. Sejak saat itulah Valentine dianggap sebagai seorang martir sehingga nama dan tanggal kematiannya dijadikan hari kasih sayang.

Memang betul adanya bahwa sejarah Hari Valentine terkait dengan agama katolik karena St. Valentine merupakan seorang pendeta katolik, dan juga budaya barat karena ia berasal dari Eropa. Namun menurut saya kejadian itu justru didominasi oleh nilai-nilai politik dan sosial, dibanding keagamaan. Maka saya rasa, baik secara kultural maupun keagamaan, merayakan Hari Valentine bukanlah sesuatu yang salah, asalkan tidak dijadikan sebagai momentum untuk melakukan kemaksiatan dan penyimpangan sosial. Lagi pula saya percaya banyak hal positif yang dapat dipetik dari perayaan Hari Valentine, dari mulai mempererat tali silaturahmi agar lebih harmonis, hingga mendatangkan rezeki ekstra bagi para penjual cokelat dan bunga.

Namun terdapat hal konyol lainnya yang berkaitan dengan Hari Valentine. Antusiasme eksesif masyarakat global membuat perayaan Hari Valentine menjadi suatu penentuan status sosial. Bagi mereka yang tidak merayakan Hari Valentine akan termarginalisasi, sehingga tak jarang peristiwa tersebut kerap 'dipotret' dalam bentuk meme internet yang menggambarkan betapa tragis dan memalukannya keluhan orang-orang yang tidak merayakan Hari Valentine. Meme tersebut merupakan sebuah screenshot halaman pencarian Google dengan kata kunci "How to fake death to avoid Valentine's Day" atau "Bagaimana cara memalsukan kematian untuk menghindari Hari Valentine"

Sangat menggelitik sekaligus menjijikan. Berdasarkan meme tersebut, masih banyak orang-orang yang menganggap Hari Valentine sebagai sesuatu yang apabila tidak dirayakan akan menyebabkan pengucilan sosial. Ya, menurut saya sah-sah saja untuk merayakan Hari Valentine, namun bukanlah suatu kewajiban untuk memperdulikannya. Ketahuilah bahwa momen-momen seremonial seperti Hari Valentine merupakan sebuah peluang marketing yang potensial, dan dibaliknya terdapat sejumlah korporat kapitalis yang memanfaatkan momentum tersebut sebagai komoditas komersial. Ketika kalian merasa minder akibat tidak merayakan Hari Valentine, hal itulah yang diinginkan terjadi oleh para korporat kapitalis. Kalian rugi, mereka untung. Jadi, buat apa perduli?
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4

Friday, February 10, 2017

Segerombol Konformis yang Latah dan Imitatif

Sudah memasuki bulan kedua di 2017 dan atmosfer tahun baru sudah mulai menipis. Di awal tahun hampir semua orang berlomba-lomba mengekspresikan antusiasme mereka terhadap tahun baru. Pesta pora, hura-hura, bakar ini-itu, konsumsi, konsumsi, dan konsumsi.

Jujur hal tersebut membuat saya bertanya-tanya. Memang bukanlah suatu kewajiban untuk ikut serta merayakan atau setidaknya merasa antusias terhadap tahun baru. Namun mengapa kebanyakan orang seperti itu? Sekedar bersenang-senang? Bukankah bersenang-senang dapat dilakukan kapan saja? Sebagai momentum pembaharuan diri agar menjadi lebih baik? Bukankah memperbaiki diri dapat dilakukan kapan saja, atau lebih baik lagi setiap saat?

Konformitas semacam itu sebagai perilaku sosial yang membuat saya heran dan tertawa melihat segerombol individu melakukan hal yang sama, meniru dan bersikap latah dari waktu ke waktu. Memang betul adanya perayaan tahun baru merupakan hal yang wajar dan lumrah, mungkin karena setiap saat kita dibombardir oleh pesan dan konten perayaan tahun baru melalui segala bentuk media, dari mulai film, literatur, media sosial, iklan, musik, dan lain sebagainya.

Jika diperhatikan masyarakat global memiliki kecenderungan untuk memaklumi dan meniru segala hal secara kolektif, ketika hal tersebut disuguhi secara simultan melalui media. Bahkan jika hal tersebut tidak etis, tidak estetis, atau bahkan tidak manusiawi. Contoh kecilnya adalah ketika masyarakat global bersikap latah dan meniru segenap gaya hidup keluarga Jenner dan Kardashian. Jujur, saya cukup muak melihat banyak sekali wanita yang mengenakan choker dan memonyong-monyongkan bibir, berusaha keras mengimitasi Kylie Jenner.

Atau dalam skala lokal, fenomena popularitas YouTubers yang menyebabkan banyak pria rela mengorbankan kejantanannya dengan mewarnai rambut dan mengenakan kaos yang terlihat seperti daster. Mungkin kini dengan berdandan seperti itu dapat diidentifikasi sebagai seorang pria yang jantan. Hal itu  jelas menunjukkan bahwa definisi jantan dan maskulinitas telah bergeser secara signifikan.

Begitupula dengan gaya hidup. Lagi-lagi saya muak melihat konten Instagram dan YouTube yang seragam; di mall, di klub malam, di restoran, atau di tempat penginapan mewah di sekitar Bali. Mengapa harus seperti itu? Agar mendapat predikat 'gaul'? Agar menjadi populer di media sosial seperti Awkarin? Mungkin mereka akan mencoba mematahkan asumsi saya dengan menyuarakan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi dan mereka bebas berbuat apapun selama tidak melanggar hukum. Begitupula dengan saya, bukan? Saya pun memiliki hak untuk menolak konformitas sosial dan beropini selama tidak melanggar hukum.

Pertanyaan terbesarnya adalah mengapa harus menjadi latah dan meniru? Mengapa harus menjadi konformis dan imitator, sementara kita bisa menciptakan dan menjalankan gaya hidup kita sendiri yang sesuai dengan standar etika dan estetika masing-masing?

Dan berapa lama mereka akan menggandrungi suatu tren? Kita dapat amati betapa mudahnya bagi mereka untuk merubah konsep diri dan menyesuaikannya dengan tren yang sedang populer. Sungguh memprihatinkan betapa mudahnya mereka dikendalikan oleh korporat kapitalis yang membentuk dan menentukan tren, sekaligus mengambil keuntungan komersil dari hal itu. Mereka benar-benar terkesan seperti sekelompok individu yang mengalami krisis identitas yang tak henti-henti. Atau lebih tepatnya bagaikan segerombolan domba yang mengikuti ke arah manapun si peternak menggiringnya untuk dieksploitasi.

Saya tertawa sendiri ketika memikirkan hal ini; seandainya The Jenners, The Kardashians, Justin Bieber, Young Lex, Awkarin, Rich Chigga, Reza Oktovian, dan para role model masa kini lainnya secara bersamaan mengonsumsi kotoran mereka sendiri dan dipublikasi oleh media massa dan akun media sosial mereka, apakah kalian akan turut mengimitasi hal tersebut?