Replace Hari Valentine: Sebuah Romantika Polemik

Wednesday, February 15, 2017

Hari Valentine: Sebuah Romantika Polemik

Dari sekian banyak ciri sosiologis masyarakat Indonesia, terdapat satu ciri yang baru saja saya sadari. Masyarakat Indonesia cenderung bersifat resisten. Pilar-pilar nilai dan norma yang mengakar kuat di dalam diri membuat kita memiliki kecenderungan untuk menolak, menentang, dan bertahan dari unsur-unsur kultural yang tidak sesuai dengan pilar-pilar tersebut.

Saya tidak menyalahkan bangsa saya sendiri, namun sebagai seorang individu yang hidup di tengah masyarakat Indonesia, saya sering sekali menyaksikan peristiwa sosial ketika sekelompok masyarakat menghimbau dan melarang sesamanya, seperti melakukan pelarangan pengucapan selamat hari raya kepada umat agama lain, pelarangan penggunaan atribut agama lain, pencekalan film, hingga pelarangan perayaan Hari Valentine yang menurut saya merupakan sesuatu yang konyol dan sia-sia. Pencegahan seks bebas dan cultural mismatch menjadi dasar atas pelarangan perayaan Hari Valentine. Mari kita bedah satu per satu.

Pada Oktober 2013, Komisi Perlindungan Anak Indonesia dan Kementerian Kesehatan merilis sebuah hasil survei yang menunjukkan bahwa 62,7% remaja di Indonesia telah berhubungan seks pranikah, dan 21% di antaranya telah melakukan aborsi. Pertanyaannya adalah seberapa banyak dari remaja-remaja tersebut yang melakukan seks pranikah tepat di Hari Valentine? Mengapa penjualan kondom diperketat hanya secara periodik pada Hari Valentine saja? Saya rasa jika pihak otoritas benar-benar mengupayakan pencegahan seks bebas, alangkah baiknya penjualan kondom diperketat secara berkesinambungan.

Dari hal tersebut, kita mendapatkan satu lagi ciri sosiologis masyarakat Indonesia. Kita cenderung melakukan sesuatu secara periodik, pada waktu-waktu tertentu saja. Sweeping tempat maksiat umumnya dilakukan di bulan Ramadhan, pengamanan ekstra umumnya diberlakukan menjelang dan pada hari Natal, dan termasuk pula perihal razia kondom dalam rangka pelarangan perayaan Hari Valentine. Apakah mereka tidak sadar bahwa aksi-aksi periodik tersebut menimbulkan suatu pola? Dan saya cukup yakin pola tersebut dapat dipahami oleh para pelaku penyimpangan sosial dan justru membuat mereka menjadi lebih mahir untuk 'bermain cantik'.

Kemudian cultural mismatch atau ketidaksesuaian budaya dianggap menjadi dasar kedua atas pelarangan perayaan Hari Valentine. Kita dapat menyaksikan bahwa nilai-nilai agama menjadi landasan utama atas pembentukan kultur dan norma sosial bagi masyarakat Indonesia. Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia, memiliki sebuah dalil berupa hadis dimana Rasulullah SAW bersabda: "Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka.” (HR Abu Dawud, hasan).

Saya sedang tidak mencoba menjadi seorang penafsir hadis, namun saya rasa hal itu memuat konteks keimanan, bukan sosial. Umat Islam dilarang untuk menggunakan atribut agama lain dan memang betul adanya, sebab berdasarkan hadis tersebut apabila seorang muslim melakukannya, maka ia dianggap telah menjadi bagian dari umat agama lain. Namun saya rasa Hari Valentine bukanlah suatu gerakan religius, melainkan suatu gerakan sosial untuk menentang otoritas.

Kata valentine sendiri digunakan sebagai memorial atas seorang pendeta bernama Valentine. Pada abad ke-3 di era Romawi Kuno, Kaisar Claudius II berasumsi bahwa prajurit-prajurit yang belum menikah memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan mereka yang sudah berkeluarga. Maka ia melarang pernikahan di usia muda, dan Valentine merasakan ketidakadilan. Sebagai seorang pendeta, ia tetap bersikeras untuk menginisiasikan akad nikah bagi kalangan muda. Dianggap melanggar hukum, Emperor Claudius II melakukan hukuman pemenggalan kepala terhadap Valentine pada tanggal 14 Februari. Sejak saat itulah Valentine dianggap sebagai seorang martir sehingga nama dan tanggal kematiannya dijadikan hari kasih sayang.

Memang betul adanya bahwa sejarah Hari Valentine terkait dengan agama katolik karena St. Valentine merupakan seorang pendeta katolik, dan juga budaya barat karena ia berasal dari Eropa. Namun menurut saya kejadian itu justru didominasi oleh nilai-nilai politik dan sosial, dibanding keagamaan. Maka saya rasa, baik secara kultural maupun keagamaan, merayakan Hari Valentine bukanlah sesuatu yang salah, asalkan tidak dijadikan sebagai momentum untuk melakukan kemaksiatan dan penyimpangan sosial. Lagi pula saya percaya banyak hal positif yang dapat dipetik dari perayaan Hari Valentine, dari mulai mempererat tali silaturahmi agar lebih harmonis, hingga mendatangkan rezeki ekstra bagi para penjual cokelat dan bunga.

Namun terdapat hal konyol lainnya yang berkaitan dengan Hari Valentine. Antusiasme eksesif masyarakat global membuat perayaan Hari Valentine menjadi suatu penentuan status sosial. Bagi mereka yang tidak merayakan Hari Valentine akan termarginalisasi, sehingga tak jarang peristiwa tersebut kerap 'dipotret' dalam bentuk meme internet yang menggambarkan betapa tragis dan memalukannya keluhan orang-orang yang tidak merayakan Hari Valentine. Meme tersebut merupakan sebuah screenshot halaman pencarian Google dengan kata kunci "How to fake death to avoid Valentine's Day" atau "Bagaimana cara memalsukan kematian untuk menghindari Hari Valentine"

Sangat menggelitik sekaligus menjijikan. Berdasarkan meme tersebut, masih banyak orang-orang yang menganggap Hari Valentine sebagai sesuatu yang apabila tidak dirayakan akan menyebabkan pengucilan sosial. Ya, menurut saya sah-sah saja untuk merayakan Hari Valentine, namun bukanlah suatu kewajiban untuk memperdulikannya. Ketahuilah bahwa momen-momen seremonial seperti Hari Valentine merupakan sebuah peluang marketing yang potensial, dan dibaliknya terdapat sejumlah korporat kapitalis yang memanfaatkan momentum tersebut sebagai komoditas komersial. Ketika kalian merasa minder akibat tidak merayakan Hari Valentine, hal itulah yang diinginkan terjadi oleh para korporat kapitalis. Kalian rugi, mereka untung. Jadi, buat apa perduli?
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4
Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan Kementrian Kesehatan, (Kemenkes)

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/rumahbelajar_persada/63-persen-remaja-di-indonesia-melakukan-seks-pra-nikah_54f91d77a33311fc078b45f4

No comments:

Post a Comment