Replace Terwujudnya Mimpi Analog

Thursday, February 16, 2017

Terwujudnya Mimpi Analog


Ketika saya masih kelas 2 SMA di tahun 2012 silam, saya menyadari bahwa ternyata di era modern yang serba digital ini, hampir seluruh musisi internasional masih merilis karya mereka dalam format piringan hitam atau vinyl. Di sekitar periode itu pula, sedikit demi sedikit pecinta musik tanah air mulai beralih dari format digital, kembali ke format analog.

Sebelumnya, mari kita bahas bagaimana perbedaan format analog dan digital. Hingga saat ini, cukup banyak jumlah masyarakat awam yang belum mengetahui perbedaan tersebut sehingga preferensi mereka terhadap format digital belum juga tergoyah.

Secara input, dalam proses merekam musik secara analog, media penyimpanan yang digunakan adalah pita. Mixer yang digunakan pun benar-benar mixer fisik yang ukurannya cukup besar. Amplifier yang digunakan benar-benar head dan cabinet yang ditodong mikrofon. Tidak ada monitor komputer, tidak ada Pro Tools, tidak ada vst plugins, dan lain sebagainya.

Sementara itu, seperti yang sering kita jumpai saat ini, proses rekaman secara digital menggunakan komputer beserta monitor, software, plugins, bahkan amplifier yang digunakan pun bersifat digital. Dengan hanya bermodalkan sebuah PC, soundcard, dan mikrofon, sebuah karya musik dapat dihasilkan dengan mudah. Format output-nya pun berupa sekumpulan bahasa pemrograman komputer yang diolah menjadi sebuah file, yang kemudian dapat di-burn ke dalam sebuah CD.

Dengan segala kecanggihan sebuah software, proses rekaman secara digital membuat segalanya menjadi instan. Apabila suara sang penyanyi fals, dapat diperbaiki dengan autotune. Apabila tempo acak-acakan, bisa diperbaiki dengan proses quantizing. Berbeda dengan proses rekaman secara analog yang membutuhkan persiapan yang matang dan waktu yang cukup lama. Maka terdapat sebuah anekdot bahwa musisi yang eksis di era analog jauh lebih berkualitas karena ditempa oleh keterbatasan teknologi. Sebaliknya, musisi masa kini yang terlena dengan dimanja oleh teknologi digital membuat performa dan kualitas mereka prematur.

Secara output, memang format digital seperti file MP3 atau CD menghasilkan audio yang jernih dan minim noise. Namun mendengarkan sebuah lagu digital dan menyaksikan musisinya bermain secara live jelas berbeda, bukan? Nah, format analog mampu meng-capture 'nyawa' dari suara dan instrumen musik yang dimainkan beserta noise-nya sehingga output yang dihasilkan jauh lebih organik, dan pengalaman menyaksikan musisi secara live lebih bisa didapatkan oleh format analog seperti kaset atau vinyl.

Kendalanya terletak pada permasalahan praktis atau tidaknya. Format digital memang lebih mudah dinikmati kapan pun dan dimana pun tanpa harus membawa-bawa turntable, speaker, atau tape. Cukup dengan mengunduh, musik dapat dinikmati dengan diputar melalui ponsel, atau membeli CD dan diputar dengan CD player di mobil.

Sedangkan format analog cukup memakan ruang dan membutuhkan waktu khusus untuk menikmatinya. Biaya yang dibutuhkan pun cukup besar karena harga produk-produknya cukup mahal dan perawatannya pun cukup merepotkan. Belum lagi setiap sekitar 500 jam pemutaran, jarum yang terdapat di turntable harus diganti. Dan terdapat pula resiko scratch pada vinyl yang berakibat pemutaran yang skipping atau 'loncat-loncat'. Akibat sensitivitasnya yang tinggi, maka dibutuhkan penanganan yang ekstra hati-hati.

Namun jangan lupa, selain vinyl, kaset pun tergolong dalam format analog, walaupun kualitas dan detail yang diberikan tidak mampu bersaing dengan apa yang diberikan oleh sebuah vinyl.

Kembali ke pengalaman saya, di tahun 2014 ketika saya lulus dari SMA, saya mengunjungi Pasar Santa untuk melihat-lihat berbagai toko vinyl yang terdapat di sana. Ketertarikan saya terhadap vinyl memuncak ketika saya memasuki sebuah toko dan didalamnya, vinyl album Slipknot yang berjudul .5: The Gray Chapter sedang diputar. Dengan spesifikasi turntable, amplifier, dan speaker yang anyar, saya benar-benar merasakan bahwa Corey Taylor cs sedang manggung di depan mata saya. Hal tersebut menjadi turning point bahwa saya benar-benar harus segera meninggalkan format digital dan beralih ke format analog, khususnya vinyl.

Ketika itu, saya menetukan target bahwa di tahun 2015 saya harus sudah memiliki tabungan yang cukup untuk membeli sebuah turntable, speaker active, dan beberapa vinyl. Namun ketika itu, prioritasnya tergeser oleh kebutuhan band saya Toilet Surfers. Maka tabungan di tahun 2015 saya gunakan untuk membeli sebuah gitar akustik-elektrik dan sebuah combo amplifier untuk gitar. Target momentum peralihan menuju format analog pun terundur ke tahun 2016. Dengan tabungan yang minim dan keinginan yang menggebu-gebu, di tahun 2016 saya menjadikan kaset sebagai alternatif dalam menikmati format analog. Saya membeli berbagai kaset-kaset bekas di Blok M untuk dinikmati sekaligus dijual secara online. Di saat itulah saya memulai sebuah bisnis penjualan kaset dan merchandise band yang saya beri nama Pills Jakarta (sekarang sudah bangkrut). Namun di tahun 2016 pula, Alhamdulillah, Toilet Surfers mulai mendapatkan panggung dan memasuki dapur rekaman, sehingga prioritasnya pun lagi-lagi tergeser, oleh pembelian sebuah gitar elektrik Fender Stratocaster dan sebuah pedal efek distorsi Boss DS-1 dari hasil keuntungan Pills Jakarta.

Pasca perilisan single perdana Toilet Surfers yang berjudul Sick Weirdo pada Agustus 2016, saya kembali dapat menabung dan memantapkan hati bahwa 2017 harus menjadi tahun di mana setidaknya sebuah turntable dan beberapa vinyl harus sudah berada di kamar saya. Kebetulan kakek saya merupakan seorang kolektor vinyl dan memiliki beberapa turntable. Sebelumnya saya belum pernah mengutarakan keinginan saya untuk menjadi penikmat musik dengan format analog. Namun ketika itu saya mulai berkonsultasi kepada beliau dengan meminta saran dan rekomendasi sebagai referensi pembelian turntable dan vinyl di masa mendatang.

Beberapa kali beliau mengajak saya untuk melihat-lihat vinyl di Blok M, namun saya selalu tidak sempat akibat kesibukan kuliah dan mengurus band. Sesekalinya saya memiliki waktu luang untuk ke Blok M, kakek saya sedang ada pekerjaan di luar kota. Maka saya pergi sendiri dan menemukan sebuah belt-drive turntable bermerk Audio-Technica seri AT-LP60 yang rencananya akan saya beli ketika tabungan sudah mencukupi.

Pada 12 Februari 2017, tanpa disangka, kakek saya membelikan sebuah portable turntable bermerk Crosley seri Cruiser II dengan built-in speaker sehingga dapat langsung dinikmati tanpa harus membeli speaker aktif tambahan (walaupun sangat direkomendasikan). Beliau pun membelikan sebuah vinyl album Pinkerton dari salah satu band favorit saya sepanjang masa, Weezer. Jujur, mendengar kabar itu saya menjadi girang setengah mati.

Saya bergegas menuju sebuah toko bernama PHR (Piringan Hitam Records) di STC Senayan untuk mengambil barang yang telah dibelikan oleh kakek saya. Di toko itu pula saya bertemu dengan salah seorang paman saya yang ternyata juga merupakan seorang kolektor vinyl. Beliau berkata bahwa suatu saat ia akan memberikan sebagian koleksi vinyl-nya kepada saya. Kegirangan saya berlipat ganda. Secara kompulsif, saya hilang kendali dan hampir menguras seluruh tabungan saya untuk membeli dua buah vinyl tambahan yaitu album self-titled dari Misfits dan Enema of The State dari Blink-182. Keduanya saya beli dalam kondisi baru sehingga harganya cukup membuat saya kembali hidup ekstra hemat.

Sampai di rumah, vinyl Enema of The State dari Blink-182 lah yang pertama kali saya putar. Dan ketika track pertama "Dumpweed" mulai bergema, saya tergetar secara emosional oleh suara organik yang dihasilkan, yang berhasil memberikan saya pengalaman 'simulasi' menyaksikan Blink-182 secara langsung, yang selama ini belum pernah terwujud. Begitupula dengan album Pinkerton dari Weezer dan self-titled-nya Misfits yang menjadikan malam itu terasa seakan saya sedang berkomunikasi secara emosional dengan Tom DeLonge, Rivers Cuomo, Jerry Only, dan para personil lainnya dari Blink-182, Weezer, dan Misfits.

Walaupun saya merasa puas, namun akibat hanya mengandalkan built-in speaker dari Crosley Cruiser II, gain yang dihasilkan kurang maksimal. Saya mulai browsing berbagai situs jual-beli online untuk mengetahui kisaran harga speaker aktif dan ternyata rata-rata semuanya di atas Rp. 1.000.000. Saya cukup merasa frustrasi, mengingat sisa tabungan saya cukup tipis. Namun setelah memikirkan berbagai pertimbangan, saya memutuskan untuk membeli sebuah multimedia speaker bermerk Microlab seri B56 seharga Rp. 175.000 rupiah dan sebuah kabel AUX - RCA agar dapat disambungkan ke turntable.


Cranked-up by Microlab B56
Alhamdulillah hasilnya tidak mengecewakan. Microlab B56 cukup berhasil meng-crank up gain yang dihasilkan oleh Crosley Cruiser II. Akibatnya beberapa hari belakangan ini, saya jarang sekali meninggalkan kamar. Setiap ada waktu luang selalu saya gunakan untuk memutar vinyl-vinyl tersebut. Terkadang saya bermain gitar dan bernyanyi mengiringi alunan gelombang analog. Bahkan ironisnya, karena terlalu sering diputar dan kurang hati-hati, terdapat skip atau loncatan selama sepersekian detik di lagu "Dumpweed" dan "Aliens Exist" pada vinyl Enema of The State. Namun saya tidak terlalu ambil pusing karena saya menganggap hal tersebut sebagai bagian dari seni menikmati dan mengoleksi vinyl.

Kini saya mulai menjalankan hidup ekstra hemat agar dapat menabung lagi dengan target menambah enam buah vinyl yang setidaknya, mudah-mudahan, dapat saya beli satu per satu setiap bulan, yaitu album Slipknot - Iowa,  Black Flag - Damaged, Minor Threat - Out of Step, Beastie Boys - Check Your Head, Alkaline Trio - From Here to Infirmary, dan Blur - self-titled. Mudah-mudahan saja jarum dan cartridge yang saya miliki bertahan lama sehingga saya tidak perlu menggantinya dalam waktu dekat.

Memang dibutuhkan kesabaran, perjuangan, dan pengorbanan dalam menjalankan sebuah hobi, terutama vinyling. Namun saya percaya bahwa semua itu berbanding lurus dengan kepuasan dan kebahagiaan jiwa yang didapatkan.

No comments:

Post a Comment