Replace Ketika si Nuris bikin KTP

Thursday, April 10, 2014

Ketika si Nuris bikin KTP

Ketika genap berusia 17 tahun pada Februari lalu, Ayah saya langsung buru-buru nyuruh saya ngurus KTP. Awalnya saya gak mau, tapi belakangan akhirnya saya ketahui bahwa KTP itu bukan Kartu Titit Pengkor, melainkan Kartu Tanda Penduduk.

Setiap Ayah saya bilang, "Nanti kalo ada waktu luang jangan lupa ngurus KTP ya.", saya selalu menjawab, "Iya, nanti." Sampai berjuta-juta abad kemudian, baru lah saya sadari bahwa KTP harus segera diurus. Kalo nggak katanya bisa menyebabkan impotensi. (?) Karena saya selalu menunda-nunda untuk segera berkunjung ke rumah Pak RT (Bukan. Bukan mau ngapelin Pak RT), maka akhirnya Ayah saya yang turun tangan seorang diri untuk ngapelin minta surat pengantar ke Pak RT. Dan ternyata jawabannya mengecewakan. Menurut Pak RT, KTP itu harus sesuai dengan alamat yang ada di Kartu Keluarga. Sedangkan alamat yang tertera di Kartu Keluarga saya itu di rumah nenek saya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Itu artinya saya harus kembali berpetualang menunggangi kuda tercinta yang merupakan jenis kawin silang antara bus APTB dengan kambing milik Pak RT. Tjakep.

Seminggu sebelum UN, kami anak-anak kelas 12 benar-benar sedang mengalami masa-masa dimana kami terlalu bingung untuk melakukan sesuatu. Pengen nyantai-nyantai untuk me-refresh otak, malah dibilang "Mau UN bukannya belajar, malah nyantai-nyantai." Giliran mau belajar serius, malah dibilang "UN jangan terlalu dipikirin, dibawa santai aja." Hal itulah yang membuat kami para pendekar penakluk soal UN merasa galau. Mau ini salah, mau itu salah. Daripada puyeng mendingan ngurus KTP ye kan? Akhirnya saya memutuskan untuk melahirkan KTP saya pada hari Selasa, 8 April 2014. Sebenernya, hari itu gak libur. Tapi daripada jadi gelandangan di sekolah, jadi mending meliburkan diri. Toh bolos dengan niat mengurus KTP demi masa depan yang cerah dan gemilang, gak jadi masalah ye kan? Selain bercengkrama dengan Pak RT dan Pak Lurah, pada hari itu juga saya berniat untuk mendaftarkan diri ke Universitas Bung Karno. Secara, calon mahasiswa Komunikasi dengan masa depan yang cerah dan gemilang gitu loh.

Seperti biasa, petualangan saya selalu diawali dengan bunyi alarm. Kali ini saya bangun jam 4 pagi karena saya ingin KTP dan pendaftaran Universitas Bung Karno harus beres hari itu juga. Pukul 05:00, saya berangkat meninggalkan rumah tercinta dengan bekal uang, hape, iPod, fotokopi akte kelahiran dan KK, baju dan celana untuk nginep di rumah nenek, rantang, tiker, kasur, tenda, kayu bakar, piring, gelas, cobek, dispenser, dan keperjakaan. Lalu dengan celana jins buluk, kaos Noxa, sepatu Converse jamuran, dan tas gemblok, saya melangkahkan kaki dengan kegagahan maksimal.

Setelah hampir gila karena menikmati macetnya Ibukota di hari kerja, saya sampai di rumah nenek jam 08:00. Ya. Tiga jam perjalanan. Ralat : Tiga jam perjalanan sambil berdiri di bus APTB karena harus ngalah sama mbak2 kantoran yang makeup-nya setebel lemak babi itu. Lalu saya langsung di antar oleh tante saya menuju rumah Pak RT setempat untuk meminta surat pengantar. Sesampainya disana, saya terkejut sekaligus prihatin melihat kondisi rumah Pak RT yang bernama Dullah itu. Rumah kecilnya terletak di pinggir rel kereta dan bersebelahan dengan kandang kambing. Suasana kumuh dengan bau kambing yang menyengat benar-benar menggetarkan hati saya. Dan ironisnya, rumah Pak Dullah terletak hanya beberapa meter dengan sekumpulan apartment mewah beserta mal-mal nya yang juga menawarkan kemewahan kepada kaum borjuis konsumtif yang hanya mementingkan hasrat bermewah-mewahnya. Jakarta sungguhlah kontras.. Dan tragis.. Pak Dullah, semoga Allah SWT melancarkan rezekimu :)

Oke, bek tu de faking topik. Kata Pak Dullah, saya telat ngurus KTP nya. Seharusnya, ngurus KTP yang bener itu sebelum ulang tahun ke-17 jadi ketika genap berusia 17 tahun, udah bisa megang KTP-nya. Sedangkan saya yang ganteng ini, ngurus KTP ketika hampir 2 bulan setelah berulang tahun ke-17. Tapi syukurnya kata Pak Dullah, masih bisa diusahakan. "Ini masukin dulu data KK sama Akte-nya nanti sore atau malem, kesini lagi aja." Kata Pak Dullah dan saya hanya bisa berterima kasih dan kembali ke rumah nenek untuk ngaso. Sekitar 3,5 jam saya tidur-tiduran, pada pukul 12:30 setelah makan siang, saya kembali melanjutkan petualangan saya ke Universitas Bung Karno. Rute perjalanan saya dari rumah nenek ke Universitas Bung Karno sama persis seperti rute perjalanan ayah saya dulu ketika berkuliah Universitas Pancasila karena kedua universitas tersebut sama-sama terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Dua hari lalu, ayah saya memberi tahu angkutan umum apa saja yang harus saya bajak naiki. Pertama angkot menuju Karet, sesampai disana, saya menunggu bus 213 jurusan Grogol - Kampung Melayu seperti yang diinformasikan oleh ayah saya. Namun ketika menunggu di halte Karet, yang paling banyak lewat itu metromini 640 yang melintas hampir setiap semenit sekali. Saya sudah hampir muntah-berak karena bosen ngeliat metromini 640, namun setelah kurang lebih 30 menit membusuk di halte Karet, akhirnya dari kejauhan nampak sebuah bus berwarna putih, bernomor 213, dan bertuliskan "Grogol - Kampung Melayu". Dengan kebahagiaan tiada tara, saya menaikki bus tersebut dan sambil nyengir. Saya harus berdiri karena seluruh tempat duduk penuh. Maka saya pun berdiri sambil menjaga keamanan hape dan dompet tercinta dari tangan-tangan liar Ibukota. Lalu lintas di Jalan Jendral Sudirman menuju Jalan MH. Thamrin tidak begitu padat sehingga bus tersebut dapat sampai di Bundaran HI hanya dalam waktu beberapa menit dan bisa langsung belok menuju Jalan Pangeran Diponegoro. Karena keesokan harinya Pemilu Legislatif, ketika bus tersebut melintasi gedung KPU, sempat 'bersilaturahmi' dengan kemacetan karena banyaknya mobil pers yang parkir di penjuru jalan. 10 menit kemudian, saya turun di depan bioskop Metropole dan berjalan kaki menuju rektorat Universitas Bung Karno yang terletak di Jalan Pegangsaan Timur No. 17. Saya masuk ke dalam ruangan Pendaftaran Mahasiswa Baru dan bertemu dengan seorang pria berumur sekitar 60 tahunan dan seorang mbak-mbak berjilbab berumur sekitar 25 tahunan yang cukup membuat saya 'gelisah'.

"Assalamu'alaikum. Pak, saya mau beli formulir untuk pendaftaran mahasiswa baru." Tanya saya kepada pria-60-tahunan tersebut.
"Oh iya silahkan. Ini boleh diliat dulu perincian biaya untuk kelas karyawan."
"Saya mau ambil kelas reguler, Pak."
"Oh masih sekolah toh? Saya kira udah kerja. Tampang karyawan soalnya."
"........"

Setelah berkepo-kepo ria mengenai Universitas Bung Karno dengan pria-60-tahunan tersebut, saya menyerahkan uang sebesar Rp. 250.000 untuk membeli formulir. Seperti yang dikatakan oleh si pria-60-tahunan, syarat-syarat pendaftaran Universitas Bung Karno adalah : Fotokopi ijazah SMA yang telah dilegalisir, pas foto, fotokopi akte kelahiran, dan surat bebas narkoba. Sambil menunggu kwitansi pembayaran, kini giliran si mbak-25-tahunan yang nanya-nanya saya.

"Kamu sekolah dimana?"
"SMA Negeri 2 Gunung Putri, Mbak."
"Wah jauh juga ya. Kesini sendiri? Naik apa?"
"Naik perahu cinta kita berdua."

Dan si muka si mbak-25-tahunan pun memerah. Sambil melotot. Saya cuma nyengir kuda.

Setelah pembayaran formulir sudah beres, saya berkunjung ke kampus Universitas Bung Karno yang terletak di Jalan Kimia No. 20. Saya kembali berjalan kaki menuju calon kampus tercinta. Sebelum sampai di kampus, saya melintasi pusat lasik mata yang juga terletak di Jalan Kimia, dan yang membuat saya nyengir bahagia adalah buanyaknya penjual berbagai macam jenis makanan dan jajanan. Dan 'surga-dunia' tersebut terletak hanya beberapa langkah dari kampus. Tjakep. Lalu saya berjalan memasuki gerbang Universitas Bung Karno dan waktu menunjukkan pukul 14:00. Rupanya kelas pagi sudah selesai dan hanya terdapat beberapa mahasiswa yang sedang asyik mengobrol di berbagai penjuru kampus : Musholla, parkiran, tangga, dsb. Ketika saya ingin melihat-lihat kelas fikom yang terletak di lantai 2, saya menaikki tangga dan berpapasan dengan beberapa mahasiswa. Mereka terlihat berbisik-bisik ketika melihat seorang pria-ganteng-berwajah-timur-tengah-berkaos-noxa yang sedang menaikki tangga dengan tampang cool maksimal. Ya. Mungkin mereka pikir saya mahasiswa pindahan. Saya melihat-lihat hampir semua kelas fikom, dan ternyata kelas di kampus itu tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Kelas di kampus itu ternyata lebih menyerupai kelas di tempat les : tidak terlalu besar dan dingin. Setelah puas melihat-lihat, saya turun ke bawah dan kembali nyengir. Banyak terdapat wanita cantik berkaca mata yang cukup menggugah selera. Ketika melihat wanita-wanita tersebut, saya langsung teringat dengan Karla Sekar Arum, seorang crew DahSyat yang saya temui di Studio RCTI 2 minggu sebelumnya. Ya. Karla sempat membuat saya susah tidur selama beberapa hari.

Saya meninggalkan kampus tersebut pada pukul 14:30 dan berjalan kaki (lagi) melewati Kedutaan Besar Sri Lanka menuju halte Megaria untuk menunggu bus 213. Alhamdulillah, ketika saya baru saja duduk di halte, bus tersebut sudah menunjukkan batang hidungnya. Dengan hati yang bahagia, saya menyetop dan menaikki bus tersebut. Tapi sayangnya saya kembali harus berdiri. Perjalanan lancar hingga pada saat bus memasuki Jalan Jendral Sudirman, saya stres. Perpaduan antara teriknya panas matahari yang menyengat dengan kemacetan yang luar biasa, benar-benar membuat saya galau maksimal. Bus tersebut benar-benar berjalan seperti keong hingga akhirnya saya bisa turun di Karet. Ketika saya keluar bus, saya tambah galau karena teriknya panas matahari yang membuat saya pusing. Terlihat tukang es cendol di kejauhan dan saya langsung berlari menghampirinya. "Atu, bang!" Dan 30 detik kemudian saya sudah bisa menikmati segelas es cendol yang nikmatnya tiada tara ketika diminum di siang bolong. 20 menit kemudian, saya sudah kembali berada di rumah nenek saya. Pada malam harinya, saya kembali ke rumah Pak Dullah untuk menanyakan nasib KTP saya, dan jawabannya bikin saya galau. Ketika dicek di kelurahan, NIP (Nomor Induk Penduduk) saya yang seharusnya tertera di KK, ternyata tidak terdaftar. Ini berarti Ayah saya harus membuat KK baru dengan NIP. Maka dengan ini, rencana kelahiran KTP saya pada hari ini, telah resmi gagal.

Terimakasih.

No comments:

Post a Comment